Boleh dikata, inilah pertama kalinya saya traveling bareng sama sahabat-sahabat jaman kuliah S1 dulu, Inda, Iin, dan Wina. Biasanya, wanita-wanita mantan penghuni Fakultas Ekonomi Unpas ini senengnya ke mall, mall, mall, dan mall lagi. Kulineran di cafe, shopping, main di hotel, atau kalau lagi waras, kadang-kadang mau nongkrong dan jajan buku di Gramedia. Pokoknya mereka ini anak kota banget yang super syusyah diajak ngebolang. Tapi sekarang nggak bisa ditolak lagi. Kami harus ke rumah Wina di Pangalengan. Pertama untuk silaturahmi, yang kedua untuk nengok babynya Wina yang baru lahir. Jadilah kami merayakan September Ceria di Cukul Pangalengan.
Baca juga: Rinai Hujan Mendayu di Cukul Pangalengan
Minggu pagi sekitar jam 09.00, kami berkumpul di Balubur Town Square Bandung. Iin jemput saya dan Inda disana. Sebenarnya, ke Pangalengan bisa sih kalau naik angkutan umum. Ada angkutan semacam elf dari terminal Leuwipanjang atau Kebon Kalapa. Tapi, tetap ya demi kenyamanan dan kemudahan, bawa mobil sendiri dirasa lebih efisien oleh kami (baca: traveler manja) #KipasKipasDipojokan.
Baca juga: Batu Hangus, Lava Indah dari Gamalama
Kami lewat rute Banjaran-Dayeuh Kolot-Pangalengan. Rute jelasnya, bisa dibaca di tulisan saya sebelumnya tentang Pangalengan ya. Anyway, jalan cukup padat pagi itu karena di daerah Bale Endah dan Banjaran sedang ada perbaikan jalan. Ditambah banyak pasar tumpah dimana-mana yang membuat macet jalan, sehingga kami baru sampai di kawasan rumah Wina sekitar jam 11.30. Berbeda dengan kunjungan saya ke Pangalengan bulan Februari lalu, dimana suhunya turun drastis karena musim hujan, awal bulan September ini sorot matahari di Pangalengan panas terik. Menusuk hingga ke kulit. Jalanan di perkampungan pun kering dengan debu berterbangan. Mungkin karena ini ya bulan September di Indonesia dibilang ceria. Masih musim kemarau. Bawaannya jadi pengen nyanyi lagunya mama Vina Panduwinata “Di ujung kemarau panjang, yang gersang dan menyakitkan…” #tsaaah…
Baca juga: Backpakeran jilid 2 – Bromo ke Malang dengan Kereta Api Malabar
Kami disambut Wina di rumahnya, ngobrol kesana kemari lepas kangen, makan gorengan, foto-foto, kemudian…
“Yuk kita jalan-jalan!” Itulah yang tercetus dari mulut saya. Bosan nongkrong dirumah terus. Ternyata semuanya mau diajak jalan. So, dengan Wina sebagai navigator, kami pun mulai menyusuri perkebunan sayur, perkebunan teh, danau yang luas, dan hutan-hutan yang masih alami. Tak ada kabut tebal sore itu. Berganti dengan kecerahan perbukitan dan perkebunan teh yang nampak anggun disiram cahaya matahari. Menampilkan warna kuning keemasan daun teh sepanjang mata memandang. Tak ada pula para wanita pemetik teh yang anggun itu. Yang berjalan sambil memikul keranjang besar di atas kepala seraya bercengkrama dengan rekan-rekannya.
Kini, yang terdengar hanya suara jangkrik yang bernyanyi di sepanjang perkebunan. Merdu didengar, menentramkan dirasa.
Baca juga: Senyum Harapan dari Desa Murung Raya
Cukul Pangalengan
Sekali lagi, saya dan teman-teman berhenti di Cukul Pangalengan. Sebuah danau alami di kawasan perkebunan Teh Malabar yang didirikan oleh Rudolf Bosscha pada tahun 1896. Iya, Bosscha yang itu. Bosscha yang juga adalah orang yang berperan dalam pembangunan Observatorium Bosscha yang ada di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Duh rasanya tak pernah bosan mata memandang Cukul Pangalengan. Beruntungnya kali ini, Tuhan mengizinkan saya melihat rona indahnya dengan sempurna. Saat matahari menimpa airnya yang jernih, kemudian memantulkan cahaya berkilauan hingga ke tepi danaunya. Membuat takjub siapapun yang menyaksikannya.
Baca juga: Berkelana ke Rancabuaya
Menurut warga setempat yang kami temui, danau ini memiliki habitat ikan yang banyak di dasar airnya. Oleh karena itu tak heran ketika kami melihat beberapa orang datang berbekal alat pancing, duduk di tepian dengan alas seadanya, lantas melemparkan kailnya ke tengah danau. Mencoba peruntungan agar ikan-ikan penghuni danau menghampiri kail mereka, lantas memakan umpannya. Buat orang yang gemar memancing, kegiatan ini dapat menjadi ajang melepas stress buat mereka. Memancing akan melatih kesabaran, sekaligus membangkitkan kepuasan saat ikan tersangkut di kail mereka.
Hanya hitungan menit, cuaca sudah berubah drastis. Udara mulai dingin, kabutpun mulai turun. Awalnya hanya kabut tipis, namun kemudian berganti menjadi kabut tebal hingga danau dan sekitarnya tak lagi terlihat jelas. Tertutup kabut. Mirip dengan pemandangan yang saya lihat beberapa bulan lalu. Akhirnya, saya dan teman-teman pun balik arah. Menuju tempat berikutnya, Situ Cileunca. Situ atau danau ini merupakan danau buatan yang berlokasi di Desa Warnasari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Situ Cileunca memiliki luas sekitar 1.400 hektar, dipeluk oleh perbukitan dan pegunungan yang menawan.
Seperti apa sih Jembatan Cinta Situ Cileunca?
Tunggu postingan saya berikutnya yaa 🙂
Baca juga: Asal Usul Jembatan Cinta Situ Cileunca Pangalengan
[…] Baca juga: September Ceria di Cukul Pangalengan […]