Sepenggal kisah dari Bandung Tempo Dulu
“Kalaulah ada lorong waktu, aku ingin jalan-jalan ke masa lalu.” Celetuk saya malam itu.
“Ke masa-masa kamu masih kecil?” tanya seorang teman.
Saya tersenyum, menggeleng. “Ke tahun 1921.” Jawab saya pendek. Beberapa pasang mata menatap saya dengan mulut setengah terbuka, lalu membuang muka tak peduli. Sudah kadung terbiasa dengan ketidakwarasan saya yang kadang muncul tiba-tiba.
Tapi namanya juga sahabat baik, mereka tetap bersedia menemani saya yang penggemar heritage ini menyusuri masa lampau Bandung. Dimulai dari Jalan Otto Iskandar Dinata, Jalan Tamim, Jalan Pecinan Lama, hingga masuk ke gang-gang sempit, yang jarang sekali dilewati oleh wisatawan biasa. Ya, siapa pula yang mau berpanas-panas dan besesakan dengan barang dagangan di gang sempit, sementara hari ini banyak sekali pilihan menawan yang ditawarkan Kota Bandung? Kami adalah pengecualian, tentunya.
Jalan Tamim
Berdasarkan kisah sejarah Kota Bandung, Jalan Tamim dulunya adalah sebuah pusat perdagangan yang didirikan oleh H. Tamim, seorang pengusaha asal Padang. H. Tamim menjual berbagai komoditas kebutuhan pokok dan menggerakkan ekonomi daerah sekitar dengan mendirikan pasar. Konon katanya, di pasar tradisional tersebut alat pembayarannya masih berupa koin emas dan perak. Seiring berjalannya waktu, orang Tionghoa mulai masuk dan mendirikan ruko-ruko. Barang yang dijual pun berkembang dari yang semula hanya komoditas kebutuhan pokok, menjadi pusat kain brokat, jeans, dan jenis kain lainnya. Hingga kini, Jl. Tamim menjadi pusat penjualan bahan jeans yang terkenal ke seantero negeri. Anda bisa menemukan aneka bahan jeans, kanvas, sekaligus menjahitnya di toko bahan jeans tersebut atau di penjahit yang mangkal di emperan toko.
Ada satu toko yang melegenda di Jalan Tamim. Sebuah toko obat herbal yang terletak di sudut jalan. Toko Obat Babah Kuya, namanya. Toko ini menjual aneka obat-obatan herbal China yang terkenal khasiatnya. Seakan tak tergerus modernitas dan persaingan industri farmasi, toko ini tetap memiliki pelanggan setia yang mempercayai khasiat racikan obatnya. Beberapa sumber mengatakan kalau Babah Kuya didirikan tahun 1910. Namun ada pula sumber yang mengatakan kalau kemungkinan toko ini sudah berdiri sejak tahun 1800an.
Jalan Pecinan Lama
Langkah kaki membawa kami ke Jalan Pecinan Lama, yang terletak bersisian dengan bangunan Pasar Baru Square. Sebagian besar bangunan di tempat itu adalah bangunan lama, yang kini berubah fungsi menjadi pertokoan.
Di bawah teriknya matahari, kami menyaksikan bangunan peninggalan masa kolonial Belanda yang tersisa. Diantaranya ada yang masih berdiri tegak dan terawat, namun tak sedikit pula yang usang, tak berpenghuni, dan tak terperhatikan. Terlupakan begitu saja. Padahal saat saya melihatnya, saya bisa merasakan auranya di masa lampau. Pastinya bangunan itu indah sekali. Pastinya juga ada cerita indah yang terselip di dalamnya. Boleh jadi cerita tentang perjuangan melawan penjajahan, kerja keras, dinamika perdagangan, atau bahkan kisah cinta sepasang manusia.
Tentunya, lagi-lagi itu imajinasi saya. Boleh jadi benar, atau malah ngelantur seratus persen. Yang pasti, Jalan Pecinan Lama kini nampak semrawut. Bangunannya tertutupi oleh kabel listrik dan telepon yang malang melintang tak beraturan, juga parkir motor dan pedagang kaki lima yang semestinya tidak diperkenankan disini.
Ah…di banyak tempat pun demikian, bukan? Bangsa ini masih belum sepenuhnya menghargai sejarah. Bangunan lama yang indah itu tak dirawat, kalah dengan desain bangunan baru yang serba modern.
Baca juga:
Itenerary Eksplore Kota Bandung Gratisan (1)
Itenerary Eksplore Kota Bandung Gratisan (Edisi Museum)
Itenerary Eksplore Kota Bandung Gratisan (2)
Review Kereta Argo Parahyangan Kelas Eksekutif Buatan PT Inka
Add comment