Curahan Hati Kids Jaman Now.
Curcol, atau kependekan dari Curhat Colongan seringkali saya dapat dari para mahasiswa saat tengah mengajar. Mereka yang notabene masih dalam usia remaja, tapi belum dewasa. Masa peralihan yang seringkali orang sebut dengan Abege. Anak Baru Gede.
Dari sudut pandang orangtuanya, anak ini belum bisa apa-apa. Belum juga pantas untuk diserahi tanggung jawab atas masa depannya. Sehingga orangtua mereka merasa kalau merekalah yang berhak penuh atas kehidupan anaknya yang masih remaja ini. Orangtua merasa berhak “mengukir masa depan sang anak.”
Tapi satu kurangnya. Mereka lupa bertanya pada sang anak, apa sebenarnya yang dimau anaknya. Apa yang sejatinya diimpikan oleh putra putrinya.
Jika saya tilik, rata-rata anak yang mengalaminya adalah anak-anak dengan latar belakang orangtua yang berpendidikan. Orangtua dari kalangan menengah ke atas, mapan secara ekonomi, dan memilki koneksi yang luas. Contoh keluhan yang sering terucapkan adalah saat orang tuanya berkata, “Papa punya teman baik di Perusahaan X, makanya kamu masuk jurusan XYZ saja, supaya bisa daftar di perusahaan teman papa saat lulus nanti.”
Atau, “Mama ngerti kamu nggak suka sekolah di jurusan XYZ. Tapi nanti lama-lama juga suka. Alah bisa karena biasa. Mama dulu juga gitu.”
Dari pernyataan orangtua di atas, coba tilik deh, yang mau kerja itu papanya atau anaknya? Kemudian, kenapa sang mama berkata mengerti anaknya nggak suka sekolah di jurusan XYZ, tapi bilang nanti lama-lama juga suka? Bukankah secara tidak langsung itu pemaksaan namanya?
Sampai disini maaf, saya nggak bermaksud mendiskreditkan orangtua manapun. Hanya mengajak untuk berpikir dari sudut pandang yang berbeda.
Dari curhatan si anak yang dituliskan ke email saya, sesungguhnya mereka nggak suka dibilang anak Abege. Oleh karena mereka baru gede, maka mereka tak punya hak untuk bersuara, apalagi memutuskan sesuatu. Padahal jika ditilik dari sudut pandang mereka, mereka bukanlah anak-anak lagi. Mereka punya pilihan sendiri, ingin punya waktu buat diri sendiri, bisa mencari jalan sendiri, sehingga tak perlu lagi perlindungan berlebih atau sikap overprotective dari orangtuanya. Menurut mereka, sikap orangtuanya yang demikian seringkali membuat sang anak mengalami krisis kepercayaan diri.
Krisis pede Kids jaman Now ini ditandai dengan sikap gamang jika disuruh mengambil keputusan. Takut salah, takut nggak sesuai dengan keinginan orangtua. Selanjutnya sikap memberontak (dari sudut pandang orangtua), padahal mereka sejatinya sedang ingin diperhatikan, ingin didengarkan apa maunya. Terakhir, krisis kepercayaan diri tingkat akut akan membawa sang anak kepada sikap apatis. Tak peduli dengan keadaan sekitarnya, tak peduli pula apa yang terjadi pada lingkungannya. Tenggelam dalam dunianya sendiri. Mereka merasa bahwa, “toh jika saya bicara, tak ada seorangpun yang mau mendengar saya. Karena saya masih Abege.”
Sungguh, yang seperti ini sering saya lihat di depan mata. Tak jarang diantara mereka ada yang menangis sedih di depan saya. Mungkin karena merasa tertekan.
Saya rasa, mereka hanya butuh didengarkan meskipun seringkali pikiran dan imajinasinya absurd. Dikasih perhatian terus-menerus, meskipun seringkali mereka terlihat tak peduli. Diberi pujian supaya mereka tak merasa rendah diri. Karena sejatinya setiap anak itu dilahirkan spesial. Tak ada yang sempurna, tapi pasti spesial. Karena Tuhan yang menciptakannya demikian.
Baca juga: Pengalaman Pertama Mengajar Mahasiswa
Add comment