Sudah lama sekali, saya memimpikan untuk dapat traveling ke Banda Aceh dan Sabang. Namun selama ini, saya hanya bisa sampai Banda Aceh. Selalu saja ada halangan sehingga saya tidak bisa mencapai titik nol kilometer Indonesia.
Mulai dari waktu yang sempit, badai besar hingga pelabuhan ditutup, urusan perkuliahan, dan lain sebagainya. Hingga pada akhirnya, penantian saya terjawab 8 tahun kemudian. Di hari yang baik, dengan teman-teman yang baik, dan dalam keadaan yang baik pula.
Wisata ke Banda Aceh dan Sabang
Berbeda dengan perjalanan saya ke Banda Aceh sebelumnya, kali ini saya memilih penerbangan langsung dari Jakarta dengan Batik Air. Perjalanan Jakarta-Banda Aceh ditempuh selama kurang lebih 3,5 jam dengan harga tiket sekitar Rp2.600.000 PP.
Baca juga : Penundaan Keberangkatan ke Sabang
Sabang, Aceh
Sabang merupakan ibukota administratif yang terdiri atas Pulau Weh sebagai pulau terbesar, dan dikelilingi oleh beberapa pulau kecil di Ujung Sumatera. Di tempat inilah terdapat tugu nol kilometer Indonesia. Sebuah titik paling barat NKRI. Tempat yang menjadi destinasi impian saya.
Menikmati Sabang dan Pulau Weh dari Udara
Cuaca cukup baik sehingga kami tidak mengalami gangguan berarti. Beberapa saat sebelum sampai di Banda Aceh, dari jendela pesawat saya melihat Pulau Weh di bawah sana. Pulau tersebut dikelilingi pulau kecil di sekitarnya. Indah sekali.
Saya sudah beberapa kali ke Banda Aceh. Tapi saya selalu memilih penerbangan Jakarta-Kualanamu-Banda Aceh. Sehingga jalur yang saya lalui tak melewati Pulau Weh. Oleh karena itu, saya tak menyia-nyiakan kesempatan dengan menikmati Sabang dari udara.
Alhamdulillah, pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Untuk pertama kalinya pula, kedatangan saya di kota ini tidak disambut hujan. Biasanya, saat baru mendarat pasti diiringi oleh hujan deras di kota ini.
Shalat di Masjid Baiturrahman Banda Aceh
Perjalanan kali ini memang benar dirahmati Allah SWT. Sebelumnya, beberapa kali sudah saya ke Banda Aceh. Saya juga pernah berkunjung ke rumah Allah yang penuh kenangan ini.
Namun demikian, saya belum pernah shalat disana. Belum pernah pula bersujud di Bumi Serambi Mekah karena setiap saya ke kota ini, selalu saja sedang datang bulan.
Masjid Baiturrahman merupakan area syariah, sehingga kita tidak boleh berpakaian non islami jika hendak masuk kawasan Masjid.
Bagi wanita wajib mengenakan penutup kepala dan menggunakan rok, demikian pula dengan pria. Tidak boleh mengenakan celana pendek.
Kalau dulu saat saya kemari larangan ini hanya berupa larangan dan kita tidak boleh masuk atau bahkan diusir dari lokasi, namun kini Banda Aceh telah berbenah. Warganya menjadi lebih ramah terhadap turis yang datang, yang tentunya tidak semuanya muslim.
Di dekat tempat parkir masjid yang terletak di bawah tanah, terdapat penitipan barang sekaligus peminjaman rok, selendang, juga jubah untuk digunakan pengunjung non muslim.
Karena kebanyakan dari rekan saya adalah non muslim, maka mereka diwajibkan mengenakan jubah. Baik yang laki-laki maupun perempuan. Sedangkan kami yang muslim, dipinjami bawahan mukena untuk dipakai sebagai rok.
Seperti ini bentuknya:
Buat saya, Masjid Baiturrahman Banda Aceh punya makna yang dalam. Indah dan teduh di dalam, megah di luar. Sekarang keadaannya pun jauh lebih tertata. Tidak banyak pengemis di koridor masjid seperti kunjungan saya sebelumnya.
Sudah ada tempat wudhu yang memadai, juga sudah lebih terbuka terhadap masyarakat luas seperti Masjid Istiqlal di Jakarta.
Saya bahkan melihat beberapa warganegara asing berlalu lalang disini. Mereka pun menghargai perbedaan, sekaligus dapat menikmati keindahan serta kemegahan Rumah Allah yang pernah menjadi tempat berlindung korban Tsunami 2014 lalu.
Makan siang di Dermaga Kuliner, Ulee Lheue
Karena agenda kami nggak padat dari Banda Aceh dan Sabang, maka kami memutuskan untuk makan siang sambil menikmati suasana di sebuah rumah makan khas Aceh. Terletak sekitar sepelemparan batu dari Masjid Baiturrahman, zero point of Tsunami.
Restaurant ini menyediakan makanan yang lezat, kebanyakan diantaranya seafood dan ayam tangkap, juga kopi yang enak.
Sambil makan, kita bisa menikmati hembusan angin laut dan kapal-kapal yang menepi. Sepanjang jalan dari dermaga ini hingga ke Pelabuhan Ulee Lheue, kita dapat menemukan banyak kedai yang menjual makanan maupun kopi khas Aceh.
Harganya cukup terjangkau, dan rata-rata masakannya cocok di lidah saya.
Shalat Dzuhur di Masjid Baiturrahim, Banda Aceh
Masjid ini dikenal sebagai zero point of tsunami Banda Aceh. Ia merupakan salah satu dari 3 masjid di Aceh yang tetap berdiri kokoh meski dihantam gelombang dahsyat tsunami.
Dua lainnya adalah Masjid Baiturrahman (Banda Aceh) dan Masjid Rahmatullah (Gampong Lampuuk, Aceh Besar).
Tak berbeda jauh dengan Masjid Baiturrahman, Baiturrahim juga merupakan moslem area. Artinya, kita wajib mengenakan pakaian muslimah jika hendak masuk ke kawasan ini.
Masjidnya memang tak terlalu besar, tapi ia terawat dengan baik dan bersih. Bahkan di dalam masjid ini, saya tak begitu merasakan hawa panas seperti di luar.
Udaranya sejuk karena bangunan yang dirancang tinggi sehingga sirkulasi udaranya baik.
Naik Speedboat dari Banda Aceh ke Sabang lewat Pelabuhan Ulee Lheue
Pukul 15.30 rencananya kapal yang akan kami tumpangi berangkat. Oleh karena itu, jam 15.00 kami sudah bersiap menuju Pelabuhan Ulee Lheue. Cerita selengkapnya mengenai Ferry, perjalanan ke Sabang, dan Pelabuhan Ulee Lheue sudah saya tuliskan disini.
Review Kapal Cepat Express Bahari Banda Aceh ke Sabang
Segitu dulu cerita dari saya, lain waktu saya lanjutkan cerita tentang ujung banda.
Add comment