Hijrah dan sepotong hati yang baru
Lama banget nih nggak nulis. Bukan karena kurang materi, melainkan saya lagi masa adaptasi, pengenalan, juga membaur pada tempat dan sistem yang baru.
Keluar dari Zona Nyaman
Januari 2019, adalah awal saya memutuskan untuk melangkah ke tempat yang baru. Memberanikan diri keluar dari zona nyaman, yang telah sekian lama mengamankan saya dalam kehidupan. Sungguh, tak mudah tentunya setelah belasan tahun lamanya tinggal di Bandung, kemudian saya hijrah. Ada teman-teman dan sahabat yang ditinggalkan, tetangga yang sudah seperti saudara sendiri, serta rekan kerja yang biasanya bekerja bersama, menyelesaikan segala penugasan yang diberikan.
Hijrahku bukan untuk pembuktian pada orang lain
Hijrah buat saya bukan untuk sebuah pembuktian. Bukan sama sekali. Melainkan untuk menggapai mimpi. Tentunya, selama perjalanan hidup saya merangkak demi menggapai mimpi sejak lama, tak semua orang bisa dinyamankan. Tak semua orang bisa dibuat senang dengan keputusan yang saya ambil.
Kali ini, saya memilih untuk egois. Saya mementingkan sesuatu yang menjadi passion saya. Sesuatu yang bisa saya kerjakan dengan sepenuh hati, dan saya bersikeras kembali ke bidang pendidikan yang sejak lama saya tinggalkan. Tak peduli itu disukai orang lain, atau tidak.
Bukan kebetulan tentunya proses hijrah saya ini sangat dimudahkan Allah SWT. Saya meyakininya demikian karena setiap langkah yang saya pijak sungguh mudah. Semesta pun merestui. Mungkin inilah yang dinamakan “jalan yang benar” menurut Allah.
Bukan berarti jalan yang saya tempuh sebelumnya tidak benar. Namun inilah ternyata jalan yang Allah rencanakan. Allah memberikan saya ujian berat sebelumnya, membuat saya terseok-seok, karena hendak memberikan saya sesuatu yang lebih besar. Yang lebih indah.
Dari proses hijrah ini pula saya berpikir bahwa, tak ada yang tak mungkin di dunia, jika Allah sudah berkehendak. Meskipun kita punya banyak keterbatasan, tapi jikalau memang jalannya, maka Allah sendiri yang mengaturnya. Indah sekali rasanya.
Ada kepasrahan. Kelegaan. Kenyamanan dalam hati yang tak bisa saya jelaskan dalam torehan aksara di blog ini.
Allah tak pernah berhenti menyayangi, sekalipun kita lalai padaNya
Ini yang membuat saya selalu berkaca-kaca setiap memikirkannya. Begitu banyak kelalaian dan sifat kurang bersyukur dari saya terhadap Allah SWT. Sehingga saya lebih sibuk bertanya “Kenapa saya yang diuji sedemikian beratnya?” bukan sibuk bersyukur, “Alhamdulillah kau selamatkan aku dari hal yang buruk untukku, Ya Allah.”
Hingga pada akhirnya, rasa malu yang sangat menghinggapi diri. Betapa rendahnya pemikiran saya kemarin. Betapa terbatasnya kemampuan saya dalam berpikir. Betapa tak mampunya saya mencerna hal yang paling sederhana sekalipun.
Januari, awal aku meniti
Mulai Januari tahun ini, saya benar-benar tak ingin melawan kehendak Allah lagi. Lelah jika kita berharap pada manusia. Saya memilih untuk menerima dan menjalani saja apa yang sudah digariskan. Bukan karena saya tak mampu berjuang, melainkan karena saya terlalu malas untuk merasakan sakit akibat melawan arus. I don’t really care about someone else. I just wanna be my true self.
Saya tak lagi memaksakan atau meminta orang lain untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. I will not fixed the other person life anymore. Because I just an ordinary woman, not a hero for someone else.
Terserah orang mau melakukan apapun, sesuai kehendaknya. Kalau hidupnya tak lurus, itu adalah pilihannya. Setidaknya, pemikiran ini meringankan langkah saya.
Tamparan keras tak berarti hukuman
Kalau saja, tamparan yang saya terima tak sekeras tahun lalu, tentunya saya memilih bertahan. Saya takkan mau berhijrah hingga segala cita dan asa yang telah saya bangun, di ambang kehancuran. Meskipun tak sedikit sahabat dan keluarga yang mendesak saya untuk berhijrah, jika Tuhan tak turut campur, mungkin saya takkan berhijrah.
Dan jika saya bertahan, belum tentu saya bisa tegar. Karena yang saya hadapi bukanlah manusia normal seperti orang kebanyakan. Ah, terlalu letih jika saya harus menjelaskan. Dan saya memang tak ingin menjelaskan. Biarlah semuanya menjadi masa lalu yang penuh pembelajaran buat saya. Buat keluarga saya, buat orang-orang terdekat saya.
Time will heal, they said to me. But NO. Time will not heal. Waktu tak pernah menyembuhkan. Ia hanya mengubah hati kita agar lebih menerima. Sehingga ada penerimaan yang indah. Tapi untuk sembuh? Rasanya bukan tugas sang waktu. Melainkan diri kita sendiri yang menyembuhkan. Hingga suatu saat nanti akan tiba masanya, kita bernafas lega dan bilang, semua sudah lewat.
Ya, dan setelah semua yang saya jalani, alhamdulillah sekarang saya bisa tersenyum lebar dan dada yang lega lalu bilang, semua sudah lewat. Saya siap dengan sepotong hati yang baru, juga semangat baru menyambut masa depan yang jauh lebih indah dan cerah.
Juga kamu, yang sudah menungguku disana. Tunggu sedikit lebih lama nggak apa-apa ya. Karena aku bakal datang dengan sepotong hati yang baru. Khusus buat kamu saja. Karena buatku, cinta sejati sungguh tak semurahan itu. Ia adalah simbol dari perjuangan, sehingga bisa menjadi cinta yang membahagiakan.
Post Terkait:
Jangan Baper Online saat lihat Medsos
Add comment