Suka duka jadi Tenaga Ahli Kemenristekdikti adalah cerita tersendiri bagi saya. Mengesankan, juga lucu saat dikenang. Ya maklum ya, saya kan memulai karier dari umur 21. Sudah langsung dapat tugas cukup berat, harus adaptasi dan segala macam. Makanya disini sayang kalau cerita itu nggak saya bagi ke teman-teman pengunjung setia Rumah Arum. Kebeneran karena sekarang masih bulan Ramadhan.
8 Tahun Lalu, Menjadi Tenaga Ahli Kemenristekdikti
Saya pernah sedih ketika setiap bulan ramadhan, saya justru ditugaskan di wilayah, dimana suara adzan sulit saya dengar. Tempat dimana kaum muslimin jumlahnya minoritas. Dengan perbedaan zona waktu 2 jam lebih cepat, atau 1 jam lebih lambat dari pulau Jawa.
Baca juga: Kerjaanku apa sih sebenernya?
Melelahkan sekali tentunya, karena kita harus memulai sahur jam 1 Pagi WIB. Atau di lain waktu, berbuka 1 jam lebih lama dari Pulau Jawa. Saya juga pernah merasakan diskriminasi pihak hotel. Karena menu sahur seringkali nggak layak dimakan. Jauh beda sama menu breakfast yang beraneka ituh. *waktu itu pariwisata nggak sekeren dan se-wow sekarang, jadi hotel bagus juga nggak selalu ada di setiap provinsi.
Biasanya tugas saya baru berakhir, satu malam menjelang idul fitri. Dari kursi di kabin burung besi, saya bisa melihat orang di bawah sana berbondong-bondong ke masjid untuk takbiran.
Suka nangis di pesawat sayatuuh 🤣🤣🤣🤣🤣
Sampe pernah suatu waktu, mbak pramugari Garuda comforting me and she sat by my side (penumpang ke Jakarta paling belasan orang). Si mbaknya hanya menatap saya, tersenyum. Lalu duduk di samping saya hingga saat menjelang landing diumumkan oleh kapten pilot.
Lebay bener yak. Ya namanya saja anak baru lulus kuliah. Masih sangat muda saat itu.
Namun seorang bapak yang mengatur perjalanan dinasku berkata,
“Non, nggak apa kamu sekarang ditugaskan ke tempat yang jauh dulu. Susah nemu masjid, susah mendengar suara adzan. Supaya mbesuk kalau kamu jadi pemimpin, kamu bisa menjiwai indahnya perbedaan di negara kita.”
Ditambah, si bapak juga bilang,
“Bersyukurlah kalau kamu ditugaskan ke rute terpencil. Mumpung masih muda dan dibiayai sama negara. Nanti rute yang dekat kan kamu bisa beli tiket sendiri.”
Source: My Diary, 2011.
Baca juga: Another Amazing Journey to East Indonesia
8 Tahun Kemudian
Nasihat si bapak pun terbukti.
Akan ada masanya kita bisa menikmati ramadhan ditengah indahnya suara adzan.
Juga, bersyukur karena ketika harga tiket ke lokasi-lokasi itu kini meroket, saya sudah pernah menyambanginya. Tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun. Malah dibayar.
Note: Kadang nasihat orang yang lebih tua suka susah kita terima di awalnya, tapi nyata adanya di masa yang akan datang. Karena kebijaksanaan dan pemikiran matang seringkali belum dapat dimiliki oleh yang muda. Tua bukan berarti kuno, mungkin mereka sedang bicara soal pengalaman. Yang bisa kita gunakan sebagai pelajaran.
Thanks Pak Juwarman (Direktorat Ketenagaan Dikti, Kemendikbud). Meskipun bapak sudah purna tugas, saya masih ingat nasihatnya.
Post Terkait:
Add comment