Berawal dari diskusi sama Rasyid soal buku, juga kunjungan kami ke Pasar Buku Wilis Malang beberapa waktu lalu, hadirlah diskusi ini. Tentang buku, tentang hak cipta, tentang royalty, juga para pembaca yang sepertinya nggak bijak jika membeli buku bajakan karya penulis Indonesia.
Pasar Buku Wilis Malang, bursa buku bekas legendaris
Mungkin Namanya tak se-terkenal Pasar Buku Palasari di Bandung, atau Pasar Buku di Kwitang Jakarta. Tapi saat saya kemari Bersama sahabat saya Rasyid, ternyata pasar buku Wilis cukup lengkap. Penataannya rapi, dan bersih.
“Mbak, kamu bisa ngenyang nggak?” tanya Rasyid saat kami baru turun dari kendaraan.
Ngenyang (Bahasa Jawa) artinya nawar. Saya jawab, bisa dong (jagoan lahh gue kalo nawar) haha…
Sebenarnya untuk tawar-menawar barang, kita perlu punya pengetahuan dulu yaitu TAHU HARGA. Lalu kita harus bisa menaksir harga yang wajar, barulah kita menawar. Biasanya sih saya jarang gagal ya kalau menawar suatu barang. Karena saya selalu nawar dengan harga wajar tadi. Sehingga saya untung, pedagang pun masih untung.
Baca juga: WFH dari Malang, berapa sih kisaran biayanya?
Cara membedakan buku bekas asli dan buku baru bajakan
Rasyid membawa catatan buku apa saja yang Ia cari. Saya mengingatkan dia, karena setelah mata saya melakukan “screening”, ternyata di Pasar Buku Wilis, buku bekas asli dan buku bajakan dicampur jadi satu. Sehingga bagi orang “awam” seringkali tak bisa membedakan mana buku asli, mana yang bajakan. Sehingga mereka memilih membeli buku bajakan, karena harganya tak beda jauh, tapi kondisinya lebih bagus.
Namun sebagai pecinta buku, saya tentunya dapat dengan mudah mengenali buku tersebut bajakan atau asli. Dari kertasnya saja sudah berbeda. Covernya beda. Warnanya beda. Baunya beda (Yes I know I am freak!), lalu ada halaman yang semestinya ada di buku asli, tidak ditemukan di buku bajakan. Saya terangkan kepada Rasyid bagaimana wujudnya buku bajakan, lalu saya sandingkan dengan buku asli.
Biasanya di buku bajakan, cetakan cover lebih buram. Pucat gitu warnanya. Seringkali ditemukan juga cetakan hurufnya ngeblur. Selanjutnya, kertas yang digunakan di buku bajakan pada umumnya adalah kertas HVS. Sedangkan kertas yang digunakan pada buku asli, biasanya agak mirip dengan kertas koran. Tapi teman-teman jangan salah, justru kertas ini lebih tinggi kualitasnya dari HVS.
Saya pernah mengikuti Forum Group Discussion tentang penerbitan di Jakarta, rata-rata penerbit akan menggunakan bookpaper karena ingin menekan gramasi. Biar lebih ringan berat bukunya, juga lebih jelas tulisan yang tertera di dalamnya. Satu lagi, kalian juga bisa cek dari jilidnya. Biasanya cover buku asli jilidnya rapi. Tetapi pada buku bajakan, biasanya jilid bukunya tidak rapi, melitut-melitut gitu deh.
Keterangan saya membuat Rasyid tercengang dan penjual di Pasar Buku Wilis lebih respek ke saya. Mereka mulai mengeluarkan buku-buku asli yang bermutu. Saya bilang kepada penjualnya, “Tidak apa-apa meskipun wujud bukunya nggak sempurna bu, kotor, jelek nggak masalah, yang penting asli.” Lalu para penjual pun dengan senang hati mengeluarkan buku-buku bekas tersebut.
Baca juga: Review Kereta Api Malabar Bandung-Malang
Tips Menawar Buku di Pasar Buku Wilis Malang
Saya ikut bantu Rasyid untuk memilihkan, terutama buku-buku yang sudah saya baca. Termasuk buku Profesor Rhenald Kasali yang berjudul Self Driving. Ibu penjualnya menawarkan dengan harga 50 ribu rupiah untuk buku bekas tersebut. Saya langsung tawar dengan harga 30 ribu rupiah, karena saat saya beli baru, di Togamas hanya sekitar 70 ribuan saja. Si ibu penjual langsung mengiyakan, dan Rasyid takjub.
Ya itu tadi, kalau menawar, kita juga harus pakai logika ya. Rasyid sempat berbisik, “Mbak, apa penjualnya nggak rugi?”
Saya jawab, harga buku bekas memang segituan. Bahkan kalau di Palasari, kita masih bisa dapat dengan harga yang jauh lebih miring. Apalagi kalau beli di toko buku langganan saya. Begitu lihat muka saya, biasanya mereka langsung kasih harga miring. Karena mereka tahu saya suka buku, dan sering beli buku.
Biasanya, untuk buku-buku yang gagal di pasar, atau tidak laku, maka oleh penerbit akan dimusnahkan. Biar nggak menghabiskan space atau memenuhi Gudang. Oleh karenanya, seringkali diobral dengan harga murah. Lebih baik kita beli buku tersebut daripada mubazir dibakar yakan?
Baca juga: Sebesar itukah memory kita?
Kalau mau beli buku asli, tapi bukunya sulit dicari, gimana caranya?
Waktu saya cari Tetralogi Pulau Buru dari Pramoedya Ananta Toer di aneka toko buku, waktu itu sulit sekali. Akhirnya saya coba kirim email ke Gramedia online, untuk pre-order. Siapa tahu kan dibalas dan Gramedia mau cetak ulang. Iseng-iseng berhadiah deh. Eh ternyata ditanggapi oleh Gramedia. Lalu saya pun order 7 buku karya Pram. Gramedia menginformasikan sebelumnya, buku tersebut mungkin saja akan lama diterima oleh saya. Saya bilang nggak apa-apa yang penting saya dapat bukunya.
Dan memang Gramedia the best deh. Ketujuh buku tersebut lengkap setelah 4 bulan. Jadi sistemnya, setiap bukunya selesai dicetak, Kurir Gramedia mengirimkan ke rumah saya. Nyicil gitu ngirimnya. Lalu saya bahagia karena buku yang sulit dicari, sekarang sudah ada di rak buku saya.
Baca juga: Cerita tentang sebuah buku petunjuk
Kenapa musti beli buku asli?
“Kenapa sih musti beli buku asli? Sudah mahal, seringkali harus waiting list pula. Ribet banget.”
Atau…
“Di shopee atau Tokopedia, banyak banget versi bajakannya. Kan sama, bisa kebaca. Bisa ngirit juga.”
Ada yang berpikir gitu? Banyak ya pastinya.
Betul, beli buku versi bajakan, lebih ngirit buat kantong kamu. Enak juga nggak harus menunggu penerbit cetak ulang. Tapinya…nggak berkah gengs! Secara tidak langsung, kamu mengambil hak orang lain, dan mengambil yang bukan rejekimu.
Penulis bermutu, harus kita hargai hasil karyanya. Supaya mereka lebih semangat menelurkan karya. Supaya rak-rak buku di toko buku kesayangan kita, tetap berisikan tulisan yang memang layak dibaca. Tulisan yang bikin pembacanya seolah healing dari segala kepenatan yang ada.
Nulis tuh susah lho. Meramu kalimat yang indah dan alur cerita yang baik, perlu Pendidikan yang baik juga. Perlu riset mendalam. Biar nggak ASBUN tulisannya.
Lalu dibalik buku ilmiah, referensi, atau novel yang beneran bagus, ada salonpas, balsem, minyak kayu putih, minyak telon, yang tiap hari nempel di bahu, punggung, dan pinggang penulisnya. Ada paracetamol, tolak angin, atau vitamin yang terpaksa harus diminum oleh penulisnya, supaya ia kuat menyelesaikan karyanya.
Ada Editor yang matanya melotot terus untuk proof reading, ada desainer grafis yang mungkin sampai diputusin pacarnya karena begadang ngerjain cover. Ada mesin-mesin percetakan, yang listriknya harus dibayar. Operatornya juga harus dikasih makan.
Terus, kamu tega mengambil jerih payah mereka semua, dengan membeli buku bajakan?
Lesson Learned
Dengan membeli buku bajakan, anda juga yang menghidupkan bisnis bajakan, karena anda menciptakan permintaan.
Kalau memang ingin membaca dan nggak punya uang yang cukup, pinjamlah ke teman yang sudah punya buku tersebut. Tapi jangan lupa kembalikan setelah selesai membacanya. Atau, pergilah ke pasar loak, cari buku bekasnya, tapi yang asli. Dijamin harganya sangat sangat murah. Atau, datang ke toko buku kesayangan, siapa tahu lagi diskon, atau dijual dengan harga murah. Atau lagi, kepoin medsos penulisnya. Banyak penulis buku yang membagikan versi e-booknya secara gratis! Ya, Gratis guys!
Sungguh banyak caranya. Jangan mau yang praktis-praktis aja. Tapi kita lupa menghargai dan mengapresiasi karya orang lain.
Harapan saya, semoga pasar buku Wilis ini semakin ramai oleh para pencinta buku, juga para insan yang memang haus akan literasi. Bangsa kita tertinggal jauh dibanding negara tetangga, karena rendahnya minat baca.
Add comment