Namanya juga blog isi curhatan, ya saya bakal curhat sesuai isi hati dan hasil pengalaman saya ya guys. So, beberapa waktu lalu saya, mama, bapak, dan adik saya Pia main ke Solo. Dari Jogja kami bawa mobil ke Solo. Niatnya mau jalan-jalan dan kulineran di sekitaran Solo. Salah satu tujuan kami adalah Kampung Batik Laweyan. Sebuah tempat yang sepertinya nggak asing untuk kalian. Sering diulas oleh media dalam maupun luar negeri juga. Lalu, seberapa berubahnya Solo?
Suatu Sore di Kampung Batik Laweyan
Siang itu suasana panas (baca: panas banget) di Solo. Suhu sekitar 34-35 derajat celcius. Kebayang kan, saya yang biasa tinggal di Bandung, begitu dikasih udara segitu langsung kelabakan tentunya. Padahal, sepanjang perjalanan dari Jogja ke Solo, hujan deras lho. Nggak berhenti malah hujannya. Makanya kami nunggu sampai agak sore, lalu baru deh jalan-jalan keliling Kota Solo.
Tujuan pertama, Kampung Batik Laweyan. Saat baru masuk, mobil kami diarahkan ke tempat parkir. Ya sudah, kami parkir disitu, lalu mulai melihat-lihat toko batik. Memang sih rencananya mama dan adik saya mau beli batik di Solo. Tapinya…ketidaknyamanan pertama muncul. Kami diikuti terus oleh bapak-bapak. Ke kanan, bapaknya ngikut. Ke kiri, ngikut lagi. Sampai akhirnya saya risih akhirnya belok deh ke tempat lain.
Dan….diikuti lagi dong sama bapak-bapak yang lain. Kali ini jumlahnya 3 orang. Berisiknya luar biasa. Nggak ngerti deh mereka ngapain. Nyuruh-nyuruh kami masuk kesini, kesitu, dan ngikutin terus. Jangankan beli batik, saya yang niatnya mau menyusuri bangunan lama di Laweyan, beneran menguap moodnya. Ambyar.
Saya sampai kesal, ini pemandu, guide, apa calo sih sebenarnya?
Kampung Batik Laweyan Asli dimana?
Seorang satpam yang bertugas di sebuah butik batik menghampiri saya. Oleh Pak Satpam tersebut saya ditunjukkan jalan, jika ingin melihat kampung batik Laweyan yang asli lewat mana. Atau sekedar sight seeing dan motret pabrik batik lawas. Which is, tempat itu berlawanan arah sama petunjuk sesat orang-orang yang mengikuti kami. Sepertinya sih mereka “memaksa” kami masuk ke butik-butik batik, supaya kalau kami belanja, mereka dapat persenan.
Tapi kan bukan begini juga caranya Bambangg! Yang ada pengunjung malah jadi kapok. Nggak nyaman.
Saya sudah jauh-jauh dari Bandung ke Solo, sungguh merasa sia-sia. Bahkan mama saya dibentak-bentak dong karena jalannya pelan saat hendak memasuki toko. Melihat hal itu, saya langsung ngajak mama, bapak, dan adik saya ke mobil. “Yuk mam kita ke PGS aja.” Saya bilang gitu.
Jujur, saya kecewa banget ke Laweyan. Mendingan nggak kesitu, jadi moodnya nggak rusak. Batiknya juga bikin saya agak kecewa, karena batik yang dijual kok dari Pekalongan? Saya bukanlah orang yang buta akan batik. Dengan mudah saya bisa membandingkan mana batik print, mana batik tulis, dan mana batik cap. Lalu kemana batik aslinya?
Mungkin ada di perkampungan batik Laweyan yang asli. yang lokasinya dihalangi sama bapak-bapak itu. Juga beberapa pemuda yang nongkrong. Untuk yang kesekian kalinya, saya kecewa di Solo.
Mau lagi nggak ke Laweyan?
Mmm…kayaknya enggak deh. Mungkin saya lebih cocok main ke butik batik di Kauman yang mriyayeni, tenang, dan nggak menyesatkan. Tempat dimana saya belajar membatik dulu, di tahun 2012, juga menginap hampir seminggu disana.
Atau kalau mau beli batik, kayaknya saya prefer datang ke Pasar Klewer atau PGS.
Sekian dari saya, pengalaman ini mungkin akan berbeda dengan teman-teman yang pernah mengunjungi Solo. Karena keadaan dan situasinya berbeda. Saya hanya bercerita apa yang saya rasakan dan saya alami saat berkunjung ke Laweyan.
Add comment