Halo teman-teman, selamat datang di Rumah Arum. Kali ini saya bukan mau kasih tips ke kalian. Saya justru mau curhat, pengalaman saya setelah setahun jadi minimalis. Ya, tepat setahun yang lalu, saya memutuskan untuk “hijrah” dari seorang maksimalis, menjadi minimalis. Menjalani pola hidup yang dahulu nggak pernah terbayangkan sama sekali di benak saya. Karena sebelumnya saya adalah Miss Rempong, full color, dan aksesorisnya bejibun. Setahun jadi minimalis, apakah saya bahagia?
Perjalanan Setahun jadi minimalis: Berat Kawan!
Nggak terasa, ya?
Sejujurnya, ini terasa banget! Bohong kalau saat saya memutuskan jadi minimalis, lalu pola hidup saya langsung minimalis secara drastis. Enggak banget guys!
Bohong juga kalau dalam prosesnya, saya nggak rindu shopping, nggak kepingin beli pernak-pernik ini itu dalam setahun terakhir. Jujur saja, minimalis dalam damai belum bisa saya rasakan secara full.
Yap, ini realita yang saya hadapi.
Minimalisme yang saya jalani benar-benar berproses. Meskipun diawalnya ekstrim downsizing karena saya stress lihat tumpukan barang. Cerita lengkapnya sudah saya tuliskan di postingan ini.
Saat saya memutuskan jadi minimalis, keputusan itu berdasar atas saya sendiri. Bukan karena saya baca bukunya Fumio Sasaki yang judulnya “goodbye things,” atau Marie Kondo yang kerjaannya bebersih dan presisi kalau melipat baju. NO. Saya nggak suka kata-kata goodbye, dan saya nggak suka bebersih ekstrim. Semua biasa aja. Selow.
Saya tak terilhami oleh siapapun, dan oleh apapun.
Minimalis tuh bukan cuma mengurangi jumlah barang loh!
Menjalani pola hidup minimalis buat saya bukan hanya mengurangi jumlah barang. Melainkan perang dengan nafsu.
Nafsu belanja, nafsu pengen fashionable, nafsu pengen stylish, nafsu pengen ikutin tren di sosmed. daann lain sebagainya.
Pada 3 bulan pertama jadi minimalis, jujur saya stress. Saya kan hobby olahraga outdoor ya. Nah biasanya saya rutin tuh beli baju outdoor, perlengkapan outdoor, naik gunung, camping, dll. tapi…saat memutuskan untuk jadi minimalis, saya mencoba mengekang hawa nafsu tersebut.
Misal, pengen beli celana outdoor model baru. Saat saya membuka lemari, ternyata saya sudah punya 4 celana outdoor. Pengen beli baju flanel gunung, ternyata saya sudah punya lebih dari selusin.
Pengen beli celana jeans model baru, ternyata saya sudah punya puluhan jeans aneka warna, aneka model. Pengen beli jam tangan, koleksi saya masih banyak. Baju kerja, koleksi saya juga banyak. Aneka model, aneka warna. Ingin kosmetik yang baru launching, saat buka meja rias, disitu semuanya masih lengkap. Mulai dari base make up, foundation, lipstick, dll. Hingga skin care.
Belum lagi saat saya ingin beli skin care keluaran baru yang lagi hits, tidak bisa karena saya cukup banyak diendorse oleh brand. Jadi ya harus dihabiskan dulu, sebelum beli yang lain.
Sampai disini saya merasa…
Lho, saya sudah punya semuanya, ya? Tapi kenapa saya masih kepengin yang lain?
Saya bosan dengan yang saya punya.
Lalu muncul lagi pertanyaan dalam benak,
“Kalau saya beli barang baru lagi, sampai berapa lama saya akan merasa senang? Berapa lama saya akan bosan?”
Kok siklusnya begitu terus ya?
I have everything. But its not fun anymore. Saat itu saya merasa nggak punya gairah lagi. Nyari duit juga nggak semangat. Karena ya…buat apa nyari duit ngoyo-ngoyo? Toh kita akan hidup dengan yang itu-itu saja. Karena semuanya ada. Semua ada di kamar saya, di lemari saya, atau di rumah orang tua saya. Ngenes, sedih, dan frustasi rasanya.
Kenapa nggak bersyukur?
Mungkin diantara kalian yang membaca tulisan ini, ada yang berpikir. Kok saya nggak bersyukur banget ya dengan yang saya punya? Kok merasa frustasi dikala semua kebutuhan sudah terpenuhi? Masih banyak loh orang di luar sana yang nggak punya apa-apa.
Percayalah guys, karena saya manusia, yang bertahun-tahun hidup di tengah banyak barang, banyak pernak-pernik, rasanya sungguh hampa ketika hal tersebut hilang dari pandangan. Awalnya sih excited, karena ruangan jadi bersih. Barang-barang nggak banyak. Banyak menghemat waktu.
But in the deep inside my heart, it hurts. I feel so lonely.
Saya merasa, kemana diri saya yang dulu? Kayak yang kehilangan jatidiri gitu.
Pergolakan batin dan rasa bersyukur itu beda lokasi. Pergolakan batin ada di hati, bersyukur ada di kalbu.
Sedangkan saya sedang dalam masa transisi. Bersyukur kepada Allah selalu saya lakukan tentu saja, namun karena saya hanya manusia biasa, saya juga punya keterbatasan. Batin saya juga sering menjerit, “Stop Arum. Kamu lebih baik bersyukur. Bukan kufur!”
Tapi lagi-lagi, itu tak cukup melegakan saya.
Hingga akhirnya waktu yang membantu saya untuk melewati semuanya
Setelah merasa ngenes, proses berikutnya adalah proses menerima. Kan gitu ya, kalau manusia mengalami sesuatu, biasanya pertama denial, anger, bargaining, depression, lalu akhirnya acceptance.
Saya mulai menghela nafas panjang. Lalu berpikir, mungkin ini adalah efek dari pola hidup saya sebelumnya, yang biasa memborong segala sesuatu. Serakah lah istilahnya.
Dulu alasan saya membeli barang adalah, “Buat punya-punya.” Bukan atas dasar fungsi dan manfaatnya.
Beli karena lucu, karena warna itu belum punya, dan akhirnya, efek dari buat punya-punya itulah, yang kini membuat saya nggak bisa beli apa-apa. Karena ya toh sudah punya. Ngapain beli lagi?
Lalu dari yang awalnya stress, sedih, frustasi karena nggak bisa beli barang, saya mulai mencoba mensyukuri apa yang saya punya. Kali ini, rasa syukur saya sudah disertai nafas lega. Nggak ngenes seperti awal-awal jadi minimalis dulu.
Alhamdulillah Ya, saya punya ini, jadi nggak harus keluar uang lagi. Alhamdulillah, ini ada. Jadi uangnya bisa ditabung, atau bisa buat sedekah.
The New Formula for Minimalism
Setahun jadi minimalis, Saya mulai mengalihkan pemikiran, bahwasanya kebahagiaan jangan digantungkan pada barang yang kita beli. Hingga akhirnya saya menemukan formula. Begini kira-kira:
Gimana kalau bahagianya dibalik saja? Bagaimana jika kita berikan kepada orang lain? Supaya barang yang kita punya, bisa memiliki manfaat lebih lama?
Dan mulailah saya memisahkan barang-barang yang masih saya sayang, tapi sudah tak memberikan manfaat buat saya. Pelan-pelan saya bungkus, lalu saya berikan kepada orang lain disaat saya sudah siap.
Ketika orang yang saya berikan barang tersebut merasa senang, disitulah saya merasa bahagia.
I believe in angel, but I’am not an angel
Saya bukan malaikat guys. Saya manusia yang punya nafsu juga. Dan ternyata mengekang nafsu itu sama sekali tidak mudah. Nafsu ingin memiliki lebih, terutama.
Manusia memang begitu ya kodratnya. Nggak ke barang, nggak ke manusia lain.
Contohnya, jika sudah punya pasangan, eh ingin memiliki yang lain. Bukan karena pasangan sekarang jelek atau banyak kurangnya. Tapi karena rasa ingin memiliki yang baru. Karena di yang baru, ada excitement baru.
Disitulah ujiannya. Setiap manusia, laki-laki maupun perempuan, saya rasa sama saja. Yang menjadikan mereka berbeda adalah bagaimana mereka mengatasi hawa nafsu.
Bagaimana mereka mensyukuri yang ada. Karena toh kalau sudah lewat masanya, semua sudah tidak ada artinya lagi.
Minimalis Versi Kita Sendiri
Iya, itu sekelumit kisah perjalanan saya setelah setahun jadi minimalis. Buat kalian yang baru memulai, semangat ya. Nggak usah ngikutin tren ini itu soal minimalis. Minimalis bukanlah sebatas definisi semata. Ini adalah proses panjang guys. Tidak instant. Kalau kalian paksakan, yang ada justru kalian bakal merasa sakit. Sedih, dan hal-hal yang tidak mengenakkan lainnya. Atau bahkan, malah bikin kalian lebih agresif.
Boleh jadi karena frustasi, bisa saja kalian kalap shopping dan membeli barang diluar kesadaran kalian. Menurut saya, pelan-pelan saja, usahakan semampunya. Ketika jenuh melanda, ya stop dulu.
Minimalis juga nggak harus hitam, putih, dan warna earthy lainnya. Karena minimalis nggak harus pake outfit anak bumi. Colorful juga nggak masalah kok. Namanya juga berproses.
Abaikan buku-buku yang ekstrim seperti goodbye things, bebersih ala Marie Kondo, dan konten sosmed yang membahas minimalis tuh begini, begitu. Kalau memang itu hanya membuat kalian tambah stress. Saya nggak bilang buku itu jelek, tapi menurut saya, definisikan minimalis dengan cara kalian sendiri.
Lepaskan ketergantungan kalian terhadap barang-barang kesayangan yang tak memberikan manfaat lagi, pelan-pelan.
Tanamkan dalam pikiran dan benak kalian, bahwa minimalis itu sejatinya membahagiakan. Bukan menyengsarakan.
Kalau kalian muslim, minimalis adalah bagian dari gaya hidup Qanaah. Yaitu hidup dengan merasa cukup.
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, tidak ada yang instant juga. Benahi dulu hati kalian, siapkan, lalu jalankan.
Semangat ya semuanya.
Salam Sayang,
Arum
Add comment