Setelah perjalanan naik turun gunung yang seolah tak bertepi, hampir 5 jam kemudian sampailah kami ke perkampungan Baduy Dalam. Hati terasa damai ketika saya mendengar suara riuh anak-anak yang sedang mandi di sungai. Alhamdulillah, alangkah leganya!
Baca Cerita sebelumnya (Part 1): Ekspedisi Baduy Dalam via Ciboleger
Melintasi Sungai di Baduy Dalam: Jembatan Gantung dari Bambu yang Melegenda
Akhirnya, kami melewati jembatan gantung bambu yang diikat dengan ijuk. Ini adalah satu-satunya jembatan yang digunakan untuk sarana penyebrangan ke areal Baduy Dalam.
Saat dilewati, jembatan itu bergoyang dan berbunyi gesekan. Namun buat saya yang sudah kelelahan, jembatan ini memberi pesona tersendiri. Jembatan yang memberikan kepastian bahwasanya, kami sudah sampai tujuan.
Baca juga: Hidup tanpa sinyal di Desa Waerebo Flores
Kebiasaan Masyarakat Baduy Dalam: Mandi di Sungai
Waktu sudah menunjukkan pukul 18.30 saat kami melintasi jembatan Baduy Dalam. Sudah dekat waktu maghrib.
Sore itu, banyak warga yang sedang mandi di Sungai. Ada pula warga yang sedang mencuci beras, mencuci baju, dan mencuci perabotan lain. Saat sedang menulis ini, pikiran saya pun melayang ke Baduy Dalam. Mungkin jam segini, mereka sedang melakukan rutinitas yang sama. Mandi di sungai bareng teman dan tetangga.
Di Sungai ini, letak tempat mandi pria dan wanita terpisah. Pria di aliran sungai bagian atas, sedangkan wanita di sungai bagian bawah.
Namun demikian, buat saya dan teman-teman yang muslim dan mengenakan hijab, proses MCK menjadi merepotkan sekali. Karena sulit menutup aurat. Apalagi dalam keadaan terang benderang. Gambaran keadaan sungai seperti ini:
Berbeda dengan Desa Adat Waerebo Flores yang dilengkapi dengan MCK, di perkampungan Baduy Dalam, semua kegiatan MCK dilakukan di sungai.
Melihat situasi yang masih ramai, kami semua menunggu hari gelap agar bisa buang air kecil dengan tenang. Saya dan rombongan memutuskan hanya berwudhu saja untuk shalat maghrib. Meskipun badan sudah kuyup karena keringat dan terasa lengket.
Solusinya adalah mandi dengan tissue basah. Anak gunung pasti sudah terbiasa akan hal ini. Jangan lupa sampah tissue basahnya dibawa kembali ya.
Meskipun warga Baduy bukanlah penganut agama islam, melainkan Sunda Wiwitan, mereka mengerti soal kami yang harus menunaikan ibadah shalat maghrib. Mereka menyediakan tempat sholat untuk kami di rumah mereka.
Baca juga: Semanis Madu dari Desa Loli, Timor Tengah Selatan
Keunikan Adat Istiadat orang Baduy Dalam
Sebagai masyarakat adat, tentunya banyak ketentuan yang harus dipatuhi. Salah satunya adalah larangan mengambil foto di daerah Baduy Dalam. Hal tersebut merupakan larangan adat yang musti kita patuhi.
Setiap foto yang saya tampilkan di website ini adalah foto yang saya ambil di wilayah Baduy Luar. Sedangkan kondisi medan terjal menuju Baduy Dalam, biarlah kalian coba rasakan sendiri, jika kalian kesana.
Selain itu, di wilayah Baduy Dalam juga kita tidak diperkenankan untuk mandi pakai sabun, atau sikat gigi menggunakan pasta gigi. Kendatipun demikian, kita diperbolehkan pakai deodorant, Sunscreen, atau make-up sekalipun.
Banyak warga Baduy Dalam, khususnya yang masih remaja, mereka sudah mahir menggunakan make-up. Itu berarti mereka diperbolehkan untuk mengenakannya. Contohnya seperti mereka, gadis kecil yang berbaju putih ini.
Tentang Rumah di Baduy Dalam dan Kucing Kawin
Kami beristirahat di rumah warga Baduy Dalam, yang juga membawakan tas saya dan Bhekti. Pada umumnya, rumah di Baduy Dalam dan Baduy Luar mirip. Baik bentuk, arsitektur, maupun luasannya. Kurang lebih seperti ini bentuknya.
Rumah di Baduy Dalam sederhana, yaitu sebuah rumah panggung yang beratap ijuk dan daun kelapa kering. Beralaskan bambu dan tikar pandan yang dianyam sendiri oleh warga Baduy Dalam.
Tikar pandannya beneran bagus dan hangat saat dipakai. Anyamannya juga sangat rapi.
Dinding rumah terbuat dari anyaman bambu, atau kalau di Jawa disebut dengan “Omah Gedhek.” Mereka tidak diperkenankan mengapur atau mengecat dinding rumahnya. Kurang lebih seperti ini bentuknya:
Perbedaan yang terlihat adalah, rumah di Baduy Luar memiliki pintu samping. Sedangkan di Baduy Dalam tidak ada. Lalu, tidak ada jendela di rumah orang Baduy Dalam. Hanya langit-langit rumah yang tinggi dan beberapa lubang ventilasi di dinding.
Selanjutnya, lantai rumah orang Baduy Dalam juga sengaja dibuat tidak terlalu rapat, untuk sirkulasi udara. Hal ini terbukti pada saat malam hari dan saya tertidur, kan lantainya berongga tuh ya…angin masuk dari sela-sela rongga tersebut.
Termasuk, suara kucing kawin yang semalaman tak berhenti, masuk dengan sempurna dibawa oleh angin malam melalui rongga lantai bambu, lalu mendarat ke telinga saya yang terdalam.
Astaghfirullahaladziim…Asli tuh kucing Baduy staminanya luar biasa. Sukses bikin saya dan Pipit nggak bisa tidur semalaman.
Pipit menyangkanya malah itu suara bayi menangis. Yakali Bayi begitu lagi suaranya.
Dapur di Rumah Baduy Dalam
Anyway, balik lagi soal Rumah. Hanya ada 1 kamar di setiap rumah orang Baduy Dalam. Di dalam kamar ini terdapat tungku untuk memasak. Atau orang Jawa biasa menyebutnya sebagai Pawon. Seperti ini kurang lebih bentuk Pawon di Pedesaan.
Selanjutnya, saya sebut dapur mereka sebagai pawon saja ya. Supaya lebih jelas istilahnya.
Mungkin kalian bertanya-tanya, kok rumah panggung, tapi pawonnya ada di dalam rumah, bahkan di dalam kamar? Apa nggak kebakaran?
Pertanyaan tersebut juga mampir di pikiran saya, yang akhirnya saya tanyakan ke tuan rumah.
Jawaban dari Tuan Rumah cukup filosofis.
Ternyata, Orang Baduy Dalam tidak masak diatas tanah langsung. Melainkan harus ditataki batu terlebih dulu. Mereka percaya, mereka tidak boleh menyakiti tanah dengan membakarnya.
-tetua Baduy Dalam-
Ruangan berikutnya adalah ruangan tanpa sekat yang cukup luas. Berbentuk letter L. Cukup luas untuk ditempati kami rombongan ber-17. Di ujung ruangan ini juga terdapat 1 pawon lagi, untuk memasak air dan nasi.
Menurut tradisi, satu rumah di Baduy Dalam boleh dihuni oleh maksimal 2 keluarga. Hal ini ditandai dengan jumlah pawon di rumah tersebut. Jika ada dua keluarga, berarti ada 2 pawon/dapur. Artinya, tanggung jawab atas makan dan nafkah keluarga tetap ditanggung oleh masing-masing kepala keluarga, meskipun berada dalam satu atap.
Sebuah pesan moral yang luhur.
Hanya Butuh Waktu 1,5 Hari untuk Mendirikan Rumah
Saat kami datang, sedang ada warga yang sedang membongkar rumahnya. Mungkin ada sekira 5 rumah yang sedang dibongkar.
Menurut tetua di Baduy Dalam, proses mengumpulkan bahan untuk membangun rumah berlangsung selama 2 bulan lamanya. Namun untuk membangun dan merakitnya, hanya butuh waktu 1,5 hari saja. Sudah bisa langsung ditempati.
Mereka sudah punya pedoman tersendiri untuk pembangunan rumah. Semacam blue print yang disimpan dalam ingatan setiap tetua dan warga Baduy Dalam. Pengerjaannya dilakukan secara gotong-royong.
Satu lagi yang unik, rumah di Baduy Dalam tidak boleh menggunakan paku dari besi. Mereka hanya diperbolehkan menggunakan pasak, atau pengait dari kayu atau bambu. Melihat mereka mendirikan rumah, seperti melihat orang memainkan Lego. Kebayang kan ya? Dirakit seperti lego sehingga terbentuk rumah sempurna.
Jadi orang Baduy prinsipnya seperti kakek saya dulu. “Rumah itu dibangun, bukan diangsur.”
No offense buat para pejuang KPR. Tetap semangat!
Baca juga: Kampung Naga, Kampung Adat di Tasikmalaya
Penetapan Hak atas Tanah
Warga Baduy Dalam tidak memiliki tanah atas nama sendiri, tetapi tanah adat. Mereka Urang Kanekes, semua berhak atas tanah adat.
Mereka tinggal pilih mau membuat rumah dimana, dan mau bertani dimana. Tinggal bikin patok saja. Namun demikian, semuanya harus atas izin Pu’un, atau kepala suku.
Biasanya, mereka akan memilih berkoloni, atau berkumpul. Kecuali bagi ketua adat/ketua suku yang disebut Pu’un. Beliau tinggal sedikit terpisah dari rumah warga lainnya. Kita sebagai tamu juga dilarang untuk lewat dekat Rumah Pu’un.
Berbeda dengan Kampung Naga Tasikmalaya, saya malah makan dan istirahat di rumah kepala sukunya.
Sebagai gambaran lagi, rumah kepala Suku Baduy Dalam berukuran sedikit lebih besar, menghadap ke timur, dan terdapat halaman. Penanda lainnya adalah jumlah tangga di depan rumah panggung tersebut.
Gambaran melulu ya?
Gimana lagi deh, soalnya saya nggak bisa gambar, dan saya juga nggak boleh memotret areal Baduy Dalam. Jadi saya hanya bercerita melalui kata-kata, dari serpihan ingatan yang tersisa.
Bersambung ke Part 3. Tradisi Pernikahan di Baduy Dalam, Ketika cinta tak boleh memilih.
Tangerang Selatan, 11 Juni 2023. By Arum Silviani, Travel Blogger & Founder of Antasena Projects.
Add comment