Saat diskusi di kelas, saya melontarkan pertanyaan ke beberapa mahasiswi. Sengaja saya tanya ke mahasiswi-mahasiswi tersebut karena area mereka selalu “anyep.”
Padahal yang lain ya rame meskipun jawabannya suka aneh-aneh, nyeleneh. Nggak apa-apa kan, itu tandanya mereka berpikir. Ruang kelas memang tempatnya belajar.
Berdasarkan pengalaman saya bertahun-tahun mengajar, mahasiswa anyep itu biasanya berada diantara 3 hal. Lapar, ngantuk, atau nggak ngerti apa yang dibicarakan dosen. Saya pengen ngetes saja, mana diantara ketiga hal tersebut yang dialami oleh mahasiswi-mahasiswi anyep ini.
Sekali, dua kali, pertanyaan saya nggak dijawab. Lama-lama beneran tidak pernah menjawab pertanyaan saya. Jatuhnya jadi seperti mengabaikan dan tidak sopan.
Lalu saya tanya,
“Kenapa kalian tidak menjawab pertanyaan saya?”
“Jangan saya bu.” Sahut salah seorang diantaranya.
“Kenapa?”
“Kami introvert bu.”
“Apa hubungannya introvert dengan menjawab pertanyaan dosen?”
“Iya bu, kami introvert. Susah bicara.” Jawab mahasiswa itu lagi.
“Oke, ini berapa?” Tanya saya seraya mengangkat jari telunjuk kanan.
“Satu.” Jawab mahasiswi tersebut serempak.
“Ini?” Tanya saya lagi seraya mengangkat kelima jemari saya.
“Lima.” Jawab mereka lagi.
“Lah itu pita suaranya masih berfungsi. Introvert itu bukan berarti bisu. Ketika ditanya ya jawab. Biasakan berpikir, because as a human, you have a brain and a mouth. Use it to think, and talk. Don’t make riddiculous excuse just because you are lazy.”
Kalau yang sudah kenal saya lama, pasti mengerti kalau saya marah besar sebenarnya. Karena bagi saya, ngomel saya itu dibagi menjadi beberapa kasta.
Kasta pertama menggunakan bahasa Indonesia.
Kasta kedua (ngeselin tapi masih mau berusaha) saya menggunakan bahasa Sunda.
Kasta ketiga (Ngeselin banget, bandel, tapi masih mau mendengarkan) saya menggunakan bahasa Jawa. Dan kasta tertinggi ketika mahasiswanya ndableg, saya pakai Bahasa Inggris. Biar kalau sakit hati, nggak sakit-sakit amat.
Add comment