Menyapa Kehidupan Pagi di Yogyakarta
Akhirnya…setelah sibuk mondar-mandir ngurusin aneka pekerjaan dan melaksanakan tugas negara, hari ini saya baru sempat menuliskan perjalanan yang saya lakukan sekitar 3 minggu lalu. Banyak yang bertanya dalam rangka apa saya ke Yogyakarta, lalu menyambung ke Solo. Menghabiskan waktu sekitar 5 hari disana. Karena kan nggak biasanya saya berlama-lama dalam berwisata. Jawabnya adalah, kali ini saya sedang traveling. Bukan wisata. Saya justru hendak menikmati perjalanan itu sendiri. Charge pikiran tentu saja. Karena kalau nggak gitu, otak saya buntu. Kerja nggak semangat dan terasa sangat membosankan.
Kenapa harus Yogyakarta? Karena saya suka Yogyakarta. Itu saja. Yang sudah baca tulisan-tulisan saya sebelumnya pasti sudah tahu kenapa saya punya chemistry yang kuat dengan kota ini. Kenapa saya selalu kembali dan kembali lagi ke Yogyakarta. Saya juga mengajak serta adik saya Pia untuk mengenal kota ini. Bukan hanya soal pariwisatanya. Tapi soal kehidupannya. Soal kesantunannya. Soal ketangguhan masyarakatnya dalam berjuang. Terutama mengingatkan kalau kami ini adalah keturunan Jawa, harus menyadari semua yang kita punya nggak didapat dengan mudah. Kalau mau sukses ya berarti perjuangan hingga akhir hayat.
So…berawal dari Stasiun Bandung. Saya dan adik saya naik Kereta Api Turangga yang akan berangkat jam 19.30 menuju Stasiun Yogyakarta. Ulasannya bisa dibaca di postingan sebelumnya. Kereta api Turangga berangkat tepat waktu, dan sampai di Stasiun Yogyakarta juga tepat waktu, yaitu jam 03.25. Karena masih pagi, kami pun menunggu di stasiun hingga matahari menunjukkan sinarnya.
Baca juga: Perjalanan Bandung-Yogyakarta dengan Kereta Api Turangga
Yogyakarta pagi itu begitu tenang. Seperti malu-malu menyambut fajar menyingsing. Udaranya juga bersih dan sejuk. Menyisakan embun yang menyegarkan. Waktu kami keluar melalui pintu Jl. Pasar Kembang sekitar jam 06.00 pagi, belum banyak kendaraan berseliweran. Hanya ada becak dan beberapa taksi yang mangkal di depan stasiun. Keadaan ini tentunya membuat kami bisa santai berjalan kaki ke Jalan Malioboro.
Satu tahun lebih tidak ke Jogja, ternyata kondisi jalan Malioboro kini sudah rapi. Sudah ada kursi-kursi yang dapat dipergunakan untuk duduk, juga bola-bola semen seperti di Bandung. Karena saya sudah booking penginapan Rumah Yogya yang terletak di kawasan Mantrijeron, maka kami memutuskan naik Bus Trans Jogja. Tarifnya Rp3500/orang. Turun di Halte Pugeran, lalu berjalan kaki sekitar 5 menit ke lokasi. Sampai disana, ternyata kami salah alamat. Alamatnya nggak sama dengan yang dipajang di Traveloka. Untungnya pemilik homestay sudah “on” saat kami telepon jam 6 pagi. Dia langsung share location via WA. Saat sampai di Homestay, saya baru menyadari kalau tempat ini dekat sekali jalan masuknya dari Jl. Bantul. Tak sampai sepelemparan batu dari lampu merah Jl. Bantul, dan tak jauh di belakang Alun-alun Kidul.
Homestaynya sangat nyaman. Tempat tidurnya luas untuk kami berdua. Kamarnya bersih, spreinya pun wangi. Kita juga diberikan handuk bersih. Kamar mandi memang diluar kamar, tapi kondisinya juga bersih dan dilengkapi dengan air panas. Sebenarnya homestay ini bersatu dengan pemilik rumah, tapi kita tetap nyaman kok. Lagipula yang punya homestay orangnya ramah dan helpful. Saya menginap dua malam disini. Tetangga kamar saya kebetulan 2 foreigner (baca: bule), dan mereka sepertinya sudah stay cukup lama di Rumah Yogya. Ini dia kamar yang kami tempati.
So, I recommend this homestay if you want to stay comfortably with affordable price. Saya booking via traveloka, dan mendapatkan harga spesial, hanya Rp140.000/malam (padahal itu lagi long weekend lhoo…). Fasilitas kamarnya memang tanpa AC. Hanya kipas angin saja. Tapi percaya deh, daerah Mantrijeron ini nggak terlalu panas. Malahan nggak dinyalain kipasnya pun kita nggak kepanasan (remember: saya biasa tinggal di Bandung, tapi di Rumah Yogya saya nggak ngerasa kepanasan). Area sekitarnya juga sejuk dan terletak di kawasan rumah penduduk yang bersih, juga tertata rapi. Masuk mobil juga kok jalannya. Aksesnya gampang, kalau mau naik kendaraan umum juga dekat. Atau bisa panggil ojek/taksi online juga.
Kalau saya sendiri, karena ingin jalan-jalannya leluasa maka saya sewa motor ke pemilik homestay. Sewa per harinya Rp60.000. Saya sewa 2 hari. Karena nggak mau buang waktu, saya pun hanya menitipkan tas dan barang bawaan kami ke pemilik homestay, lalu langsung cuss ke Pasar Lempuyangan. Hanya sekitar 10 menit, kami sudah sampai. Kami langsung mencari menu sarapan ala-ala tradisional, sambil melihat geliat masyarakat sekitar di pagi hari.
Para traveler selalu bilang, jika ingin melihat bagaimana karakter masyarakat di suatu tempat, berkunjunglah ke pasar tradisionalnya. Niscaya kau akan mengetahui budaya, kebiasaan, juga karakter mereka hanya dalam waktu yang singkat.
Berbeda dengan kondisi Jalan Malioboro dan Jalan Bantul yang masih sepi, justru di Pasar Lempuyangan ini sudah ramai dengan para penjual dan pembeli. Ibu-ibu mengerubungi si mbah penjual sayuran. Ada juga yang sedang memilih telur, daging ayam, membeli beras, dan kebutuhan pokok di warung kelontong serba ada. Aneka jajanan pasar disajikan di sepanjang lorong pasar. Semuanya enak-enak dan murah meriah tentunya. Hanya dengan Rp3000rupiah saja kita sudah dapat banyak.
Satu yang menarik perhatian saya adalah ibu penjual jamu ini. Beliau tersenyum manis menyapa kami, sembari tangannya memarut kunyit untuk dijadikan jamu. Dengan ramah sang ibu menjelaskan manfaat masing-masing jamu racikannya. Ada Kunyit Asam vavorit saya, Beras Kencur, Temu lawak, dan lain sebagainya. Suami si ibu juga turut menjelaskan khasiat jamu tradisional yang diracik oleh istrinya.
Saya membeli sebotol Kunyit Asam yang ditempatkan dalam botol air mineral 300 ml. Sedangkan Pia memilih sebotol beras kencur dalam ukuran kemasan yang sama. Harga masing-masing jamu dalam botol itu hanya Rp3000rupiah saja. Rasanya sangat enak. Fresh, juga tidak ada campuran bahan kimianya. Kalau saya ke Pasar Lempuyangan lagi, saya pasti akan kembali ke kios ibu ini.
Setelah membeli jamu dan jajanan pasar, kami pun mencicipi Soto Pasar Lempuyangan, yang terletak di depan toko kelontong, di sudut kanan Pasar. Nampaknya soto ini cukup terkenal, karena banyak yang makan di tempat ini. Saya memesan 2 mangkuk soto ayam, 2 porsi nasi, dan 1 gelas white coffee, dan 1 gelas es teh manis. Semua hanya Rp28.000. Rasanya cukup enak, dengan porsi yang mengenyangkan.
Nah, kayaknya itu dulu yang saya bahas disini. Selebihnya, akan saya taruh di postingan berikutnya. Saya bakalan kasih rekomendasi tempat main, tempat makan, juga tempat nongkrong asyik di Yogyakarta. So…stay tune yaa 🙂
Selanjutnya:
Seru ceritanya, Mbak Arum.
Melihat foto Mbak Arum duduk di kursi jalan malioboro, saya langsung kebayang pas duduk-duduk di sana hehehe.
Pas ke Yogya, saya belum ke pasar Lempunyangan. Kebetulan nginap di sekitar Malioboro, jadi saya sarapan nasi gudeg di sekitar situ hehehe.
Tapi memang lebih enak sewa motor ya, Mbak. Jadi puas keliling Yogya. Saya pas itu naik bus trans saja hehehe.
Iya Mas Bambang, kalo sewa motor lebih leluasa dan murah sih. Mau kemana-mana gampang. Terutama kalo kita mau cari makan murah dan enak hahaha…ngirit mode on nih. Naik Bus Trans juga enak sebenernya, murah meriah ya mas. Nyaman lagi.