Travelers tale travel blogger
Kayaknya, judul tulisan saya kali ini bakal bersaing dengan resensi filmnya Aditya Mulya. Traveler’s Tale. Padahal, nggak sama sekali. Saya lagi nggak bahas itu. Hanya ingin berceloteh soal blog. Soal catatan. Soal kenangan yang saya simpan dalam setiap lembar tulisan, yang tentunya akan sedikit membuka kisah tentang bagaimana perjalanan hidup saya menjadi seorang traveler. Kebetulan, kok judulnya pas ya. Jadi pinjam sebentar istilahnya ya Mas Adit.
Ketika bukit dan hutan menjadi teman dekat
Saya memulai traveling sejak lulus SD. Karena besar di Jakarta, maka banyak tempat yang belum pernah saya kunjungi di Purwokerto. Kampung halaman orang tua saya. Oleh karenanya, begitu saya pindah ke rumah kakek dan nenek, saya sering mencoba mengeksplore perbukitan di sekitar sekolah ataupun rumah. Duduk di pinggiran sungai Serayu yang indah, bermain dengan jernihnya air terjun, bersepeda di jalan raya, berlatar belakang pegunungan nan cantik.
Saya sangat suka membaui tanah basah. Oleh karenanya, tanpa sadar kebiasaan saya sejak kecil ini berlangsung hingga saya duduk di Bangku SMA. Masa-masa inilah kehidupan menjadi traveler benar-benar tersalurkan. Hampir setiap minggu saya mendirikan camp di pedesaan dengan para sahabat. Naik gunung, hiking ke perbukitan, menelusuri sungai, bahkan, menyusuri hutan yang masih perawan. Angker pula kata orang.
Itu karena, saya suka sekali main ke dalam gunung ataupun hutan. Rasanya saya terlindung dari segala hal rumit di luar sana. Dengan pepohonan rindang yang membuat hati tentram.
Soal angker, saya dan sahabat saya untungnya sepakat. Bahwa ada kehidupan lain selain kita. Sehingga sudah semestinya, kita saling menghargai. Tidak ngomong sompral, juga tidak mengganggu ketenangan “mereka”. Alhamdulillah, perjalanan kami selalu lancar, tanpa aral dan rintang yang berarti.
Tak banyak foto, hanya rekaman memori yang kuat
Dulu, kami jarang sekali mengabadikan momen dalam jepretan kamera. Teramat sangat jarang. Saya dan sahabat-sahabat saya yang kini sudah tersebar di seantero negeri, lebih suka menikmati suasana dalam kebersamaan. Tidak ada gadget. Tidak ada listrik. Tak ada suara dari dunia luar.
Yang lazimnya terdengar hanya suara jangkrik, tonggeret, desau angin menelisik ranting pohon dan dedaunan, juga gemericik air. Semuanya itu mengiringi canda dan tawa kami yang biasanya ramai pada malam hari. Saat dimana kami membakar singkong di bawah tumpukan bara api unggun.
Tidak ada kasta disini. Tak ada pula pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian, semua tahu akan tugasnya masing-masing. Laki-laki bertugas untuk mencari kayu bakar, mendirikan tenda, membuka jalur ekstrim, dan menenteng bawaan berat. Sedangkan kami yang perempuan, tentu saja bertugas untuk memasak. Memastikan perut kami semua terisi dengan makanan.
Soal tenda pun demikian. Rekan-rekan saya yang lelaki, akan memastikan tenda perempuan berdiri lebih dulu, sebelum mereka mendirikan tendanya. Semua tahu porsinya.
Apakah butuh uang banyak?
Tidak sama sekali. Terkadang, kami malah diberi bekal oleh penduduk setempat. Kami juga memanfaatkan hutan untuk memberikan kami air dan makanan. Kami belajar soal survival.
Atau, kami membawa bekal masing-masing dari rumah. Bekal itu nantinya dikumpulkan, untuk dinikmati bersama.
Indah sekali masa itu.
Tak ada yang pamer ketika sudah menaklukkan Gunung Slamet, Merbabu, atau Merapi. Tak ada yang selfie hanya untuk membuktikan pada dunia, bahwa dirinya pernah berdiri di puncak tertinggi Pulau Jawa. Tidak ada.
Hanya tersisa peta dan catatan pena, dimana jalur yang aral lintangnya paling sedikit. Jikalau nanti ada rekan kami yang hendak menuju tempat tersebut, akan lebih mudah menjangkaunya.
Sisa lainnya adalah, bagi yang sering melakukan perjalanan dan menjadi traveler, hatinya lebih lapang. Sehingga meskipun tak sempurna dalam segi akademis, biasanya mereka ini tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan penuh percaya diri.
Percaya diri. Bukan pamer.
Lagi, rasanya saya juga nggak punya teman laki-laki atau perempuan yang baperan, ataupun manja dengan keadaan. Siapapun dia, apapun latar belakang keluarganya, ketika kami sedang traveling ya semua memaklumi keterbatasan. Menikmatinya sama-sama. Menertawainya sama-sama.
Ketika kata menjadi doa
Saya masih ingat betul ketika kami saling bergandeng tangan saat hiking di kaki Gunung Slamet. Hampir tak ada keegoisan disana. Hanya saling memastikan bahwa, masing-masing kami dalam kondisi baik. Kondisi kuat naik hingga puncak.
Duh, kok kangen ya sama kalian?
Masih jelas pula dalam ingatan saya, manakala kami menyusuri perbukitan di areal Perhutani Rawalo. Masih di kawasan desa tempat saya tinggal. Tapi jaraknya…bisa 8 jam berjalan kaki. Disana, saat kami sedang lelah-lelahnya, seorang dari kami memanjat pohon.
Energinya memang jauh diatas kami.
Di atas pohon itu, dia membuka kaosnya, lalu menggantungkan kaos tersebut di salah satu ranting. Saya ingat, kaos itu merah putih warnanya. Sudah kucel, usang, tapi yang penting, merah putih warnanya.
Setelah berhasil, dia berteriak. “Jangan panggil saya Oksa kalau saya nggak bisa jadi tentara!”
Kami tertawa geli melihatnya. Dulu kami berpikir, mungkin karena dia kelelahan maka insting sintingnya mencuat ke permukaan. “wong gendeng.” Begitu pikir kami.
Namun beberapa tahun kemudian, dia benar-benar jadi tentara penjaga perbatasan NKRI.
Hey You! I’m so proud of you my friend!
Ada pula sepupu saya, yang mencetuskan niat, nggak mau sekolah lagi selepas lulus SMA. Maunya jadi mandor saja.
Yang di kemudian hari, meskipun dengan susah payah, akhirnya dia bisa jadi mandor di perusahaan konstruksi jalan dan jembatan. Kini dia sedang membangun jalan tol trans Jawa.
Lucu memang, tapi sebenarnya kami adalah bagian dari janji Allah yang terbukti jelas. Bahwasanya, ketika kita sedang dalam perjalanan lalu berdoa, maka doa itu akan terkabulkan. Doa seorang musafir.
Kenapa saya masih ingat semuanya? Seolah baru kemarin kejadiannya?
Karena saya mencatatnya di buku harian. Detail demi detail peristiwa. Sehingga saya terhindar dari yang namanya amnesia, pikun, atau segala penyakit yang berhubungan dengan lupa ingatan.
Hehehe…just kidding man!
Hey kalian…saya juga masih ingat betul saat kalian memanggil saya dengan “Hey gadis tahun 70an!”
Sial!
Kalau bahasa sekarangnya, saya tuh modis tau…pecinta fashion dengan gaya vintage. Gaya abadi yang nggak lekang dimakan jaman. Langka. Biar belel tapi kharismatik. Hahaha…
Sekarang, gadis tahun 70an ini masih suka sama gaya baju vintage gitu. Lucu soalnya. Untungnya, sekarang gaya vintage selalu jadi tren fashion yang menarik (menghibur diri sendiri).
Perjalanan berlanjut hingga bekerja
Saat lulus SMA, saya kembali ke Jakarta, untuk kemudian melanjutkan kuliah di Bandung. Perlahan tapi pasti, kontak dengan rekan-rekan seperjuangan pun menjadi berkurang. Kami sibuk menata hidup kami masing-masing.
Namun siapa sangka, setelah lulus, pekerjaan justru membawa saya kembali menjadi traveler. Bedanya, dulu saya dilindungi oleh para sahabat. Merasakan aman dan nyaman berjalan dengan mereka. Sedangkan saat bekerja, saya dituntut untuk profesional. Tim seadanya. Bahkan belum saling mengenal satu sama lain.
Kesepian, seringkali saya rasakan saat sedang dalam perjalanan. Entah itu tugas negara, atau tugas kantor semata. Teman sejati saya adalah Al-Quran, dan lagi, buku diary kesayangan yang saya bawa kemanapun saya pergi.
Saya mencatat segala yang saya alami. Apa yang saya lihat, saya rasakan, dan saya saksikan. Perjalanan ini makin hari semakin padat. Hingga akhirnya bertumpuk dalam coretan kertas dan pena. Pada saat itu saya baru sadar, mungkin sebaiknya, saya tuliskan catatan saya dalam bentuk digital. Agar orang lain dapat membacanya.
Siapa tahu, saya bisa membantu mereka dengan memberikan informasi.
Travelers tale travel blogger
Tak sedikitpun ada niat untuk pamer setiap saya menuliskan catatan perjalanan. Niat saya hanya, agar saya bisa melatih otak untuk tidak pikun. Untuk tetap menorehkan kata demi kata, dan menuangkannya dalam format yang dapat diterima oleh masa kini. Agar orang lebih mengenal Indonesia dan kecantikan alam yang ada di dalamnya.
Traveling saya lakukan bukan karena gaya hidup. Jauh sebelum traveling keliling Indonesia ngetren seperti sekarang, saya sudah melakukannya. Pun demikian dengan blogging. Saya melakukannya sejak 8 tahun lalu. Mulai dari catatan-catatan kecil, lalu rutin, lalu lebih rutin lagi, hingga kini menjadi kebiasaan.
Tak dipungkiri, menjadi travel blogger adalah sarana saya untuk menghasilkan karya. Menambah portofolio, dan juga memberikan saya kesempatan untuk menulis hingga ke media traveling di luar negeri. Tapi saya rasa, itu hanyalah bonus. Saya belum berniat menjadikan diri menjadi seorang travel blogger professional.
Saya ingin menulis dan mengisi website pribadi saya dengan tulisan original. Sebisa mungkin, tak banyak iklan ataupun advertorial yang berseliweran disini. Kalaupun ada, pastinya masih fokus tentang traveling atau merek lokal sehingga tak membingungkan anda sebagai pembaca.
Life Lesson
Semoga celoteh saya nggak terlalu membosankan ya. Namanya juga tukang nulis, segala ditulis. Termasuk nostalgia SMA.
Lakukanlah perjalanan selagi bisa. Jika tak bisa, maka membacalah. Buka jendela dunia dengan membaca. Karena menjadi tua itu pasti, sedangkan menjadi bodoh itu pilihan.
Salam hangat,
Arum Silviani.
Add comment