Seperti biasa, kalau mau backpackeran pasti rencananya dadakan. Hari itu Jumat, 17 Oktober 2014. Hari tersebut merupakan hari terakhir kami UTS. Saya bersama dua orang teman kampus (Fitri dan Dian), berencana untuk refreshing di luar kota. Nggak sekedar refreshing lho ya, tapi backpackeran bertema. Kali ini tema yang diusung adalah “Entrepreneurship Tour”. Dari judulnya sudah bisa ditebak kan, kami mau ngapain. Refreshing sambil cari data buat tugas kuliah. Tujuan utama adalah : Kota Garut.
Alasannya : Kota Garut merupakan kota yang beberapa waktu belakangan pertumbuhannya melesat karena banyaknya UMKM yang bermunculan di kota ini. Tidak sedikit juga UMKM di kota ini yang produknya sudah menembus pasar global.
So, jam 11.30, dari kampus kami di Jl. Cimandiri, kami naik angkot ke terminal Cicaheum. Dari terminal kami naik bus tujuan Garut. Sayangnya, saat itu hanya ada Bus Mios. Bus kelas super ekonomi dengan tiket seharga IDR 15ribu. Karena kami baru bertiga, alhasil kami pun harus menunggu selama kurang lebih 1 jam 15 menit, hingga akhirnya jam 13.15 kami baru bertolak dari kota Bandung menuju Garut, dengan perjalanan yang tentu saja, tersendat. Setiap ada penumpang di jalan, bus tersebut berhenti. Kemudian ngetem lagi di Cileunyi hingga jam 14.15. Puncaknya adalah, saat bus tersebut mengangkut karyawan pabrik di daerah Rancaekek, sehingga membuat bus sangat penuh sesak. Untungnya kami bertiga duduk di depan, jadi masih bisa bernafas.
Saya sudah sering ke Garut, namun ini pertama kalinya saya naik angkutan umum. Terus terang, saya kaget. Feeling disappointed lah pokoknya. Saya jadi mikir, sarana transportasi yang kayak gini nih yang bikin orang malas naik transportasi umum, dan malas ke Garut. Belum lagi supir bus yang mengemudi dengan ugal-ugalan. Lengkap deh. Bandung – Garut tuh dekat, tapi jauh. Lama perjalanan nggak pernah bisa diprediksi kalau kita memutuskan naik angkutan umum. Belum lagi macetnya.
Nah, mungkin hal tersebut ujian sebelum backpackeran. Panas, sesak, ngeri juga di jalan. Hingga akhirnya, jam 16.00 kami baru memasuki Tarogong, dan kami memutuskan untuk turun di alun-alun Tarogong. Kondisi jauh berbeda ketika teman kami Husni, naik motor dan berangkat dari Bandung jam 14 lebih justru sudah sampai di Garut sekitar jam 15.
Oke, itu salah satu hal menyebalkannya. Namun demikian, perasaan kesal dan lelah pun sirna ketika kami menginjakkan kaki di Tarogong.
Suasana Garut yang tenang menyambut, delman berseliweran, juga celoteh bahasa Sunda yang akrab terdengar di telinga kami. Alun-alun Tarogong sore ini menjadi tempat bermain sepak bola. Anak-anak saling berkejaran memperebutkan sebuah bola kulit.
Di seberang Alun-alun Tarogong, ada masjid yang berdiri gagah. Masjid Agung Tarogong. Sebuah masjid yang nyaman dan bersih. Kami pun segera menunaikan shalat dzuhur dan ashar di Masjid tersebut. Setelahnya, kami makan sore di kios Bakso yang tak jauh dari masjid. Kalau ke Garut jangan lupa mencicipi baksonya, karena memang rasanya enak dan banyak sekali pedagang makanan favorit Indonesia ini.
Ke Garut, tentu saja saya tak lupa mengontak Rihan. Adik kelas saya di Polban, yang sudah saya anggap seperti adik sendiri. Biasa, minta diantar jalan-jalan keliling Garut. Tak lama menunggu, Rihan pun datang ke Masjid Agung Tarogong. Bersama Ina, adik Rihan, kami pun diantar menjelajah kota Garut. Pertama tentunya, cari penginapan. Saya nggak booking penginapan sama sekali. Karena menurut Rihan, lebih baik datang langsung ke penginapannya. Kalau cocok baru diputuskan. So, tak jauh dari Tarogong, kami melaju ke arah alun-alun Garut. Sepanjang jalan banyak penginapan berjajar. Namun saya yang sudah membaca review dari internet, memilih hotel Suminar. Hotel yang letaknya bersebrangan dengan hotel Paseban. Ternyata Fitri dan Dian pun setuju menginap di tempat ini karena selain bersih, harga per kamarnya lumayan terjangkau. Kami diperbolehkan satu kamar bertiga tanpa harus extrabed karena tempat tidurnya lumayan besar. Harga sewa kamar per malamnya IDR 130ribu.
Berikut tampilan penginapan kami :
Hotel Suminar. Sumber : garutbikeweek.com |
Kami hanya menaruh barang-barang, kemudian mulai menjelajah Garut. Saya bersama Rihan, Dian bersama Husni, dan Fitri bersama Ina. Klop. Tujuan pertama adalah alun-alun Garut. Pusat kota Garut dengan hamparan tanah lapang yang luas, dan tentu saja sebuah masjid nan besar dan megah berdiri di tengahnya. Buat Dian dan Fitri yang baru pertama kali datang ke Garut, Alun-alun ini cukup menarik perhatian. Mereka berdua excited sekali untuk berfoto. Apalagi menjelang maghrib, lampu-lampu masjid mulai dinyalakan sehingga alun-alun Garut nampak anggun dan indah.
Alun-Alun Garut |
Dian yang happy banget bisa menginjakkan kaki di Garut |
Dari Kiri (Husni, Saya, Ina, Dian, Fitri) |
Tak terasa, adzan maghrib berkumandang syahdu. Memanggil kami untuk menunaikan ibadah segera. Kami berenam shalat berjamaah di masjid yang lumayan ramai ini. Setelahnya, baru melanjutkan perjalanan.
Chocodot
Berpose di depan Gerai Chocodot Garut |
Varian Chocodot |
Gerai yang kami kunjungi terletak tak jauh dari alun-alun Garut. Begitu parkir, kami disambut oleh replika seekor domba yang menjadi maskot kota ini. Tak sabar, kami pun masuk ke dalam gerai chocodot. Seketika, hamparan coklat berjajar rapi, mengusik lidah untuk segera mencicipinya. Rasanya pengen deh ngeborong semua rasa coklatnya. Banyak sekali varian Rasa. Ada yang isi dodol, rasa cabe, rasa apel, rasa jeruk, dan banyak lagi varian rasa lain. Belum lagi kemasannya yang menarik. Ada coklat rasa sayang, coklat enteng jodoh, coklat anti galau, dan kemasan unik lainnya. Kami pun berbincang-bincang dengan supervisor chocodot. So, dari hasil wawancara bersama Kang Ardi, maka saya akan mengulas Chocodot secara spesial di tulisan berikutnya.
Tak terasa, hampir 2 jam kami di Chocodot, selanjutnya kami memutuskan untuk mengisi perut di sebuah pusat kuliner di Garut. Orang -orang menyebutnya dengan kawasan CEPLAK.
Kami berenam memilih warung tenda yang menyajikan menu bebek goreng maupun bakar, juga ayam goreng dan ayam bakar. Saya, Fitri, dan Ina memesan menu Bebek bakar, Dian memesan menu bebek goreng, Husni dan Rihan memilih ayam goreng. Untuk 1 porsi menu bebek dihargai IDR 25ribu, sedangkan 1 porsi menu ayam dihargai IDR 15ribu. Porsinya besar, rasanya juga lumayan lezat, disajikan dengan nasi uduk.
Bebek Goreng |
Bebek Bakar |
Hari sudah malam. Tentunya berbeda ya antara kota besar dan kota kecil. Di jam 20.00, suasana Garut sudah lengang sehingga kami memutuskan untuk pulang ke penginapan. Mengumpulkan tenaga demi perjalanan esok hari.
Add comment