Ada Salam dari Pasar Legi Kotagede, Tongseng Pasar Kotagede
Pagi kedua di Yogyakarta. Saya dan Pia pergi dari homestay jam 6.30. kami menembus jalanan yang masih sepi, ditemani mentari yang hangat bersinar sepanjang perjalanan menuju Kotagede. Ya, setelah di pagi sebelumnya saya mengajak adik saya untuk mengenal kehidupan pagi di Pasar Lempuyangan, pagi kedua ini saya ajak dia untuk melihat kehidupan masyarakat Jawa dari dekat di Pasar Legi Kotagede. Pasar tertua dan terlengkap di Yogyakarta, yang berdiri sekitar abad 16 atau sebelum kerajaan Mataram di Kotagede berdiri. Nama aslinya adalah Pasar Sargede. Selanjutnya populer dengan nama Pasar Legi karena puncak keramaian pasar tersebut adalah di hari pasaran Legi, atau manis. Pada penanggalan Jawa, ada 5 hari pasaran, yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing.
Meskipun pasar tradisional, Pasar Legi Kotagede ini memang sangat lengkap. Pasar serba ada, istilahnya. Mulai dari kebutuhan pokok seperti sembako, sayur mayur, daging, buah, lalu aneka jajanan pasar, kuliner khas Yogyakarta, alat-alat rumah tangga, dan lain sebagainya. Oh iya, pasar ini juga pernah dijadikan lokasi syuting Geng Cinta dalam Film AADC 2 lho…ini salah satu adegannya.
Baca juga: Menyapa Kehidupan Pagi di Yogyakarta
Kurang lebih 20 menit kami melaju, kami sampai di Pasar Legi Kotagede. Kondisi pasar jam 7 pagi sudah ramai. Geliat kehidupan disini lebih riuh jika dibandingkan dengan pasar Lempuyangan. Namun demikian, tak menyurutkan orang-orangnya untuk selalu tersenyum dan bersikap ramah kepada kami. Yes, meskipun kami celingukan bingung mau jalan kemana, setiap orang disana selalu menyapa kami. Minimal, saling menebarkan senyum. Padahal kami nggak saling kenal.
Keunikan lain yang kami temukan adalah, hampir setiap pengunjung dan penjual sudah mengenal dekat satu sama lain. Obrolan mereka bahkan nampak akrab, sampai ke hal-hal pribadi seperti kapan anaknya diwisuda, si bungsu sudah kelas berapa, dan hari ini acaranya mau kemana saja. *kalo yang ini saya tahu dari hasil nguping pembeli jajanan yang berdiri di sebelah saya.
Baca juga: Candi Prambanan Lagi, Why Not?
Jajanan pasar di Pasar Legi Kotagede tergolong sangat lengkap. Apa saja ada. Nggak bakal bosan kita memilihnya. Saya sendiri mencoba membeli nasi pecel pincuk racikan si mbah ini. Beliau sudah lama sekali berdagang di Pasar Legi. Bisa tebak nggak berapa harga satu porsi pecelnya? Sudah berikut nasi lho…
Hanya Rp2000 saja!
Dan si mbahnya ini, meskipun sudah sepuh, tangannya tetap lincah dalam melayani pembeli. Di wajahnya tak tergambar kelelahan sama sekali. Malah kelihatannya seneng banget karena masih bisa bekerja.
Tongseng dan Sate Kambing Pak Salam, Kotagede
Kaki terus melangkah ke sisi selatan pasar. Sambil mata melihat-lihat, kiranya hidangan apa yang enak disantap pada pagi hari. Hingga hati ini rasanya memilih sendiri tempat itu. Sebuah kios sederhana yang terletak di dalam pasar Legi Kotagede.
Berbeda dengan kios lainnya, kios ini terlihat berbeda. Juru masaknya adalah si mbah yang sudah sangat sepuh, bahkan sudah bungkuk badannya. Tubuhnya memang renta, tangannya keriput, namun Ia piawai meracik bumbu, mengipasi tongseng dan sate, lalu dimasaknya dengan anglo, atau tungku arang. Panasnya api seolah sudah menyatu dengan dirinya, sehingga ia bisa menciptakan menu yang sangat sedap rasanya, dengan resep yang sama saat suaminya mendirikan kios ini sejak jaman kolonial dulu.
Si mbah meraciknya sendiri sebagai perwujudan kesetiaan dan cintanya pada almarhum Pak Salam. Ia mempertahankan semuanya. Lokasi kiosnya. Cara memasaknya. Juga resep setiap hidangannya. Semuanya tak pernah berubah sejak masa Pak Salam masih hidup. Kalau melihat wajah ikhlasnya saat memasak, juga senyum lebarnya saat menghidangkan tongseng juga sate racikannya ke pelanggan setianya, saya langsung tahu kalau si mbah melakukannya bukan untuk uang. Bukan pula untuk kekayaan karena tak satupun perhiasan yang menempel di tangan, maupun bagian tubuhnya yang lain. Si Mbah bekerja karena dedikasi. Perjuangan tiada akhir, dan memberikan contoh kepada kita bagaimana sejatinya menjadi wanita Jawa yang tangguh. Yang sederhana dalam pembawaan, namun luar biasa dalam usaha.
Dalam menjalankan kiosnya, si mbah dibantu oleh seorang wanita paruh baya, yang kemungkinan adalah putrinya. Putrinya ini tak terlibat dalam proses masak-memasak karena sepenuhnya dilakukan oleh si mbah. Putrinya hanya membantu menyajikan minum, memberikan piring tambahan, atau mencuci piring-piring tersebut.
Harga dua porsi tongseng, dengan dua piring nasi dan dua gelas teh manis hanya Rp40.000 saja. Rasanya? Sangat sedap tentunya. Daging kambingnya lembut, juicy, dan wangi kecap serta bumbu bawang merah dan cabai meresap sempurna ke dalamnya. Memanjakan lidah. Rasa ini sangat otentik dan sulit ditemukan di tempat lain. Lebih dari itu, tongseng racikan si mbah dibuat oleh tangan renta nan ikhlas. Tangan yang meskipun sudah keriput, senantiasa memberikan kita pecutan semangat juga rasa malu jika kita malas berusaha.
Semoga, ada waktu untuk kembali lagi ke Pasar Legi Kotagede. Menikmati tongseng buatan si mbah, juga nasi pecel pincuk dan jajanan pasar yang sedap dan menggoda.
Desa Wisata Kotagede
Terdapat beberapa kampung Wisata di Kotagede, antara lain Kampung Wisata Purbayan, Prenggan, dan Rejowinangun. Pagi itu, saya hanya melewati saja kampung-kampung tersebut, tanpa singgah. Saya lebih menikmati bangunan rumah jawa yang menawan. Campuran antara bangunan tempo dulu yang bergaya klasik dan berbau eropa. Kombinasi arsitektur yang sangat saya sukai. Kita lihat yuk.
Sampai jumpa di Petualangan di Jogja selanjutnya…
Baca juga :
Menikmati Pelangi di Monjali Yogyakarta
Perjalanan Bandung-Yogyakarta dengan Kereta Api Turangga
Add comment