Jika ini Ramadhan Terakhirku
Sudah sejak pekan lalu saya ingin menuliskan ini. Namun saja, hati selalu tak kuasa meneruskannya. Teringat betapa banyak dosa dan kelalaian yang dilakukan sepanjang tahun, juga tahun-tahun sebelumnya. Teringat betapa banyak waktu yang lebih sering digunakan untuk dunia, dibandingkan mengumpulkan bekal untuk kehidupan panjang di masa nanti. Nanti yang boleh jadi hari ini, besok, lusa, atau detik berikutnya, sesaat setelah saya menuliskan ini di sebuah kertas putih.
Begitu banyak anugerah yang diberikan Allah untuk saya, untuk kita juga. Termasuk diantaranya adalah bertemu kembali dengan Ramadhan. Sebuah bulan yang di dalamnya terdapat malam 1000 bulan. Bulan yang dipilih Allah untuk penuh dengan berkah, rahmat, dan ampunan (Semoga Allah memperkenankan kita untuk dapat bertemu dengan malam seribu bulan. Aaamin.)
Namun kali ini, saya tak hendak membahas soal dalil puasa. Saya juga tak bermaksud menggurui dengan menyodorkan ayat-ayat tentang puasa, karena keterbatasan ilmu yang saya punya.
Yang saya tahu, puasa itu melembutkan hati. Puasa mengajarkan kita arti bersyukur, berserah, juga tak punya kuasa apa-apa dalam kehidupan kita. Puasa adalah ibadah yang spesial. Dimana hanya kita dan Allah yang tahu jika kita sedang menjalankannya.
Pada ramadhan kali ini pula, saya merasa jika yang paling dekat dengan kita sejatinya bukanlah orang tua, bukanlah teman, pasangan, apalagi harta. Melainkan KEMATIAN.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [QS. Ali Imran:185].
Mati tak dapat ditebak siapa yang lebih dulu. Yang sakit lama, masih bertahan hidup. Namun orang yang sehat wal-afiat. Yang gagah. Yang kokoh tubuhnya, boleh jadi dia yang dipanggil lebih dulu. Mengingatkan saya bahwa, makin hari, antrian saya sudah dekat.
Namun demikian, setiap saya membuka mata di pagi hari, lantas saya bertanya pada diri sendiri,
“Apa yang sudah saya lakukan untuk membawa manfaat buat orang lain?”
“Apa yang bisa saya jadikan syafaat di akhirat nanti?”
“Apa, yang membuat Allah meringankan siksa kubur saya nanti?”
Dan lagi, ketiga pertanyaan sederhana itu tak kunjung bisa saya jawab. Karena saya tahu, saya belum cukup bermanfaat buat orang lain. Saya belum cukup bekal apa-apa buat menjadi syafaat saya di alam akhirat nanti. Saya juga belum punya amalan yang cukup untuk menjadi teman sejati saya, yang senantiasa mendampingi saya saat timbangan saya dihitung nanti.
Saya belum bisa menjawab semuanya.
Termasuk, bagaimana jika Allah bertanya pada tangan dan kaki saya,
“Apa yang sudah kau lakukan di dunia?”
“Kemana saja kau melangkah?”
Rasanya saya tak sanggup membayangkannya. Jangankan saat mulut kita terkunci. Saat dimana kata tak ada lagi. Sekarang saja, tak ada kata yang bisa keluar dari mulut saya untuk menjawabnya.
Betapa kehidupan dunia melenakan, dimana lebih banyak kita berharap pada manusia, daripada kepada Allah SWT. Padahal kita tahu, jika kita berharap pada Allah, takkan pernah hati ini kecewa. Namun sebaliknya, jika kita berharap pada manusia, kita pasti akan kecewa, hingga relung hati yang terdalam.
Manusia memang demikian. Seringkali berharap pada manusia, padahal ia tahu hanya akan berujung pada sakit dan kecewa.
Satu diantaranya, saya.
Yang masih tak bisa lepas dari harapan pada manusia, mengulangi khilaf berkali-kali, meskipun tahu kalau manusia itu tak ada apa-apanya. Manusia tak punya apa-apa. Manusia yang tak berdaya hanya jika Allah tak mengizinkannya bernafas dengan hidungnya.
Jika ini ramadhan terakhirku,
Semoga Allah menjaga hidayah yang sudah diberikanNya kepada saya. Menjaga saya dari perbuatan sia-sia dan tak bermanfaat, juga melapangkan rizki dan hati saya agar saya bisa selalu ikhlas dalam bersedekah. Soal hal lainnya, biar saya dan Allah saja yang tahu. Tak perlu dijelaskan gamblang, tak perlu diungkapkan, tak sanggup pula saya tuliskan. Karena jika saya diminta menuliskan nikmat “mata” saja, niscaya seumur hidup saya takkan pernah cukup waktu untuk menuliskannya.
Jika ini ramadhan terakhirku,
Aku ingin suatu saat nanti, dapat menatap wajah Tuhanku dengan tersenyum. Karena sesungguhnya, semua yang ada di dunia pasti akan binasa, namun wajah Tuhan yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.
Wajah Maha Indah yang tak seorang makhlukpun di dunia ini mampu mengejawantahkannya.
Bandung, 22 Ramadhan 1439H.
“Tulisan ini diikutkan dalam postingan tematik Blogger Muslimah Indonesia”
Baca juga:
Penjelasan sederhana buat rekan non muslim mengapa muslim berpuasa
Penjelasan sederhana buat rekan non muslim mengapa muslim berpuasa-Bagian dua
Add comment