Sejak saya posting reels di Instagram tentang Jalur Non Resmi Gunung Patuha, banyak yang nanya ke saya, Teteh, jalurnya lewat mana? Teh, berapa jam kesana? Bisa tektok nggak? Beberapa diantara mereka bahkan sudah kesana lewat jalur yang saya lalui. Tapi biar lebih jelas, saya kasih detailnya disini ya kawan-kawan. Gunung Patuha lewat Cipanganten, Ciwidey, Kabupaten Bandung.
Disclaimer: Perjalanan ini adalah Perjalanan Para Pendaki Ceria
Buat kalian yang sudah mengikuti cerita saya sejak lama, pastinya tahu kalau setiap saya mendaki, rata-rata adalah pendakian ceria. Jadi mohon dimaklumi ya, karena saya bukan pendaki yang fisiknya kayak atlet dan mentalnya sekeras baja.
Saya mendaki untuk bahagia. Bukan untuk menyiksa raga.
Arum Silviani
Perjalanan dari BSD ke Bandung
Berhubung saat ini saya tinggal di BSD, maka mau tidak mau ya awal perjalanan dimulai dari Kota Tangerang Selatan.
Saya berangkat dengan Kakak May, bestie naik gunung saya. Saat itu hari Rabu, kami memilih Shuttle Travel Aragon, pukul 05.15 WIB. Saya naik dari Ruko Versailles BSD, dengan tujuan Dipati Ukur Bandung. Beli tiketnya di Tiketux, Rp110.000. Kalau weekend biasanya harganya beda ya guys.
Review lengkap travelnya bisa dibaca disini: Review Travel dari Bandung ke BSD
Perjalanan pagi itu alhamdulillah lancar, sehingga kami sudah sampai di Pool Aragon Dipati Ukur sekitar jam 7.45 WIB. Setelah itu kami sarapan di warmindo yang terletak di sebelahnya. Lumayan lah ada nasi kuning dan secangkir kopi panas.
Sekalian kami menunggu Kang Lucky, rekan seperjalanan yang juga bakal menemani kami (baca: bawa mobil) ke Ciwidey.
Memulai perjalanan dari Bandung ke Ciwidey
Jam 09.30 kami jalan menuju Ciwidey. Rute yang kami lalui adalah Tol Pasteur-Tol Seroja-Soreang-Banjaran-Ciwidey dengan lama perjalanan sekitar 1 jam 40 menit. Jadi kami lumayan menghemat banyak waktu.
Sungguh tidak terbayangkan kalau jam segitu kami baru berangkat, terus lewat jalur non tol.
OMG! Bisa 3 jam lebih bestie!
Syukur Alhamdulillah pagi itu, jalanan cukup sepi. Sehingga kami bisa menikmati pemandangan pohon teh, barisan perbukitan, dan juga jalur aspal yang mulus.
Alhamdulillahnya lagi, cuaca juga bagus sekali. Cerah, tapi nggak panas. Sejuk dan menenangkan jiwa-jiwa yang renta karena lelah bekerja.
Beda banget deh dengan keadaan pada akhir pekan yang…ya gitu deh. Sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Saya, Kak May dan Kang Lucky memang sudah berniat naik lewat jalur non resmi. Berbekal informasi dari vloger asal Bandung kang Bodink Artventure, dan juga peta topografi Gunung Patuha dari website ini:
Peta Jalur Pendakian Gunung Patuha
Dari peta tersebut, saya mengincar jalur yang berwarna merah. Artinya adalah jalur non resmi, namun bisa dilalui. Tapinya, kami pun salah ambil jalur.
Kesalahan yang malah justru mempercepat waktu pendakian! Hahaha…
Maafkan ya, saya mengakui kalau cewek memang bloon dalam hal membaca peta. Maunya yang singkat-singkat saja. Kebetulan kali ini, kesalahan saya membaca jalur justru malah menguntungkan. Loh kenapa? Yuk lanjut…
Perjalanan dari Ciwidey ke Desa Cipanganten
Setelah Gerbang kawah putih, kami masih lanjut jalan. Dari situ saya baru pasang Gmaps yang saya arahkan ke Masjid Al-Barokah Cipanganten.
Ada gerbang pengecekan yang dijaga oleh Satpam Perhutani. Disitu saya menuliskan nama, alamat, dan nomor mobil kami. Kirain bakal di cek KTP, ternyata tidak.
Lanjut, kami melalui PLTU, juga jalan aspal berbatu yang kanan kirinya adalah kebun teh seperti ini. Menawan bukan?
Namun selanjutnya, makin lama jalur semakin sempit. Dari yang semula aspal berbatu, kini aspalnya benar-benar hilang. Menyisakan batu yang tajam sehingga menghantam kaki-kaki mobil dengan gurihnya. *Sorry Kang Lucky!
Hingga akhirnya, kami berhenti di depan Masjid. Atas saran warga setempat yang ramah, kami diperbolehkan memarkir mobil di depan masjid Al-Barokah.
Tentunya, saya meminta izin terlebih dulu kepada seorang ibu baik hati, yang rumahnya tepat berada di depan masjid. Kami juga minta izin ke beberapa warga untuk menitipkan mobil kami.
Juga pada gadis-gadis kecil yang kali itu, “menonton” saya. Haha…
Untung Kak May punya banyak coklat dalam ukuran kecil, yang akhirnya saya bagi-bagi ke gadis-gadis kecil yang riang itu. Mereka pun senang.
Sambil saya berkata ke mereka, “teteh titip mobil ya.”
“Iya teteh…” jawab mereka ramah.
Basecamp dengan Parabola di Halaman
Menurut Kang Lucky, rumah di depan tempat kami parkir adalah basecamp sebelum pendakian ke Gunung Patuha. Karena terlihat banyak sticker di dindingnya.
Hmm…boleh jadi. Kendatipun saat itu, hanya kami bertiga warga luar yang ada disitu. Sehingga sejujurnya, keraguan pun mulai menyergap.
Akhirnya Kang Lucky, yang orang sunda asli, bertanya pada warga dalam bahasa Sunda.
“Pak, bade ka Gunung Patuha, palih mana nya jalanna?”
Lalu bapak-bapak petani pun menjawab dengan sangat ramah. “Palih dieu. Pelan-pelan saja jalannya neng, nanti juga sampai.” Demikian pesan si bapak.
Kami disuruh untuk mengikuti jalur.
Alhamdulillah jalurnya nggak salah.
Baca juga: Hiking ke Benteng Cikahuripan, Lembang
Cipanganten Menuju Puncak Sunan Ibu Gunung Patuha
Pemandangan kebun Strawberry memanjakan mata kami. Di kanan dan kiri kami penuh dengan strawberry yang sayangnya, saat itu belum siap panen. Kalau sudah siap panen, mungkin saya akan meminta pada warga, untuk bisa membelinya.
Perjalanan berlanjut ke pepohonan yang ditebang disana-sini. Menyisakan tanah gundul yang membuat saya khawatir, akan menyebabkan longsor bila hujan melanda. Semoga selalu baik-baik saja.
Sampai disini, jalan masih cukup baik. Tanah berbatu yang meskipun mulai nanjak, tapi masih cukup bersahabat. Bahkan kami sempat menemukan motor bebek yang dimodifikasi, terparkir di pinggir jalan begitu saja.
Namun beberapa menit kemudian, kami menemukan penanda jalur bertuliskan “Sunan Ibu” by JNE, dan ini. Kami curiga, jangan-jangan Mas Paket sudah pernah mengantarkan paket ke Sunan Ibu. Hehehe…
Tidak ada penunjuk jalan yang jelas di Jalur Cipanganten
Jika teman-teman sekalian memutuskan lewat jalur Cipanganten, itu berarti kalian tidak akan menemukan penunjuk jalan yang jelas. Oleh karenanya, kalian harus awas dalam melihat tanda-tanda berupa pita, tali rafia, atau bahkan bekas bungkus aqua, yang dililitkan di semak-semak belukar. Mungkin petunjuk ini ditinggalkan oleh para pendaki sebelumnya.
Haturnuhun Suhu!
Jalurnya sendiri lumayan sih kalau menurut saya. Jalannya sempit, berbatu, dan di kanan dan kiri terdapat semak belukar yang sudah tinggi.
Ketika saya bilang ke Kak May dan Kang Lucky bahwa jalurnya cukup mudah, dan akan saya tulis di website saya demikian, mereka berdua mewanti-wanti. “Ngga boleh bilang begitu di website, ntar lu dibilang bohong. Ini jalurnya nggak mudah!”
Well, kalau begitu saya sebut saja jalurnya cukup menantang deh ya.
Meskipun menurut saya, masih ramah di kaki. Mungkin karena minggu sebelumnya saya sempat “melakukan ekspedisi” ke Baduy Dalam via Ciboleger. Yang medannya diluar nalar. Jadi saya berpikir bahwa perjalanan ke Puncak Sunan Ibu masih okelah rutenya.
Jalur yang sempit ini berlanjut hingga kami bertemu dengan hamparan kebun teh yang indah. Saya dan Kak May belok kanan, menyusuri kebun teh dan menikmati pemandangan. Kami juga sibuk foto-foto, sehingga lupa kalau kami harus mencari jalur.
FYI, sinyal HP saya mati total. Nggak sedikitpun terdeteksi. Saya pakai provider XL dan Indosat.
Baca juga: Baduy Dalam, Kampung Adat yang terletak jauh di dalam hutan
Rute dengan bonus perkebunan teh yang indah
“Lewat sini!!!” suara Kang Lucky nyaring terdengar.
Hampir saja kami nyasar, kalau saja Kang Lucky tidak menjerit memanggil kami yang terlalu asyik menerabas kebun teh.
Ternyata jalur yang dimaksud Kang Lucky berpatokan pada petunjuk sebuah bungkus aqua yang dililitkan di semak-semak.
Jadi rutenya adalah, dari jalur Cipanganten, setelah bertemu kebun teh, kami belok kiri.
Jalur yang sukses membuat kami beberapa kali “tikusruk.” Apa ya padanan kata dalam bahasa Indonesianya? Ya gitu deh. Terjerumus diantara semak-semak belukar.
Pohon tehnya segini tingginya soalnya. Batang dan ranting yang kami temui juga mempersulit langkah kami. Sungguh menjadi tantangan tersendiri menuju Puncak Patuha.
Nah setelah mengalami tikusruk, tigebros, dan tigoreleng di areal pinggiran kebun teh, akhirnya kami kembali ke jalur normal. Baru kami sadari kalau jalur yang kami tempuh barusan adalah jalur “shortcut.” Karena bisa saja kita mengikuti jalur yang cukup bersahabat, namun harus menerabas kebun teh dan jalan memutar.
Indahnya, dari tempat ini kita bisa melihat Situ Patenggang di kejauhan sana. Terbentang menawan meskipun tertutup kabut.
Masuk Jauh ke Dalam Hutan Kelam yang menawan
Dari perkebunan teh kami terus berjalan. Namun sebelum bertemu dengan jalur yang lebih besar, mata saya terpaku pada sebuah lilitan pita merah di ranting pohon. Selanjutnya, saya mengingat video Kang Bodink yang memang melewati hutan yang vegetasinya cukup rapat saat menuju Sunan Ibu.
Kalau dalam ilmu keanekaragaman hayati, hutan ini termasuk kategori vegetasi khas pengunungan alam dengan ciri kanopi rapat yang tersusun dari pohon dan pancang. Baca: hutan lebat.
Baru selangkah saya masuk hutan itu,
Serasa masuk dunia lain!
Kami memasuki hutan yang sepertinya jarang dijamah oleh manusia. Sepi, lembab, dan kanopinya cukup rapat.
Berkali-kali saya berdoa, memohon keselamatan pada Allah SWT, dan melafadzkan doa penolak bala. “A’udzu bikalimatillahi taammati min syarri maa khalaq.” Yang artinya: “Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan ciptaan-Nya.”
Lumayan takut juga sebenarnya…
Tapinya indah ya Allah. Serem sih hutannya, tapi sungguh indah.
Banyak pohon tumbang yang diselimuti lumut, pohon pakis, dan pohon liar lainnya. Tempat ini tak terkena sinar matahari. Oleh karenanya, hutannya lembab dan banyak lumut. Kondisi jalan juga licin, meskipun saat itu tidak hujan.
Buat saya hutan seperti ini sangat alami dan sangat indah. Namun buat kalian yang nggak suka melihat hutan “sekelam” ini, lebih baik lewat jalur normal.
Arahkan GPS kalian ke camping ground Cipanganten. Lebih aman buat jantung dan mental kalian.
Menemukan Seberkas Cahaya Terang
Di dalam hutan, kami bertiga sibuk memotret, menikmati keindahan alamnya, juga tak lupa, hidung mengendus-endus, mencari asal bau belerang. Petunjuk demi petunjuk pun cukup melegakan kami. Kali ini kami melihat beberapa tali rafia yang sudah pudar warnanya, masih melekat di rumpun semak belukar.
Tak lama, hanya sekitar 10 menit dari kami masuk hutan, saya sudah melihat seberkas cahaya terang. Kaget ngga sihh tahu-tahu sudah disini?
Belakangan setelah saya kepo peta dan melihat vlog orang lain, ternyata ini adalah jalur shortcut teman-teman! Memang agak sulit rutenya, seperti jarang dilewati. Tapi sungguh ini shortcut. Bisa menghemat waktu kurang lebih 40 menit.
Padahal kalau lewat jalur yang lebih mudah, kita akan melewati danau kecil, juga melewati jalan paving block yang sudah tertata. Bayar retribusi juga Rp11.000/orang.
Bukan niat kami nggak mau bayar, tapi memang kami nurutin petunjuk pendaki sebelumnya, juga saran dari warga yang menyuruh kami mengikuti jalan.
Alhamdulillah kami nggak menemukan jalan itu, karena saya nggak suka kalau di gunung ketemu tangga, atau ketemu paving block. Entah kenapa kaki saya sakit jadinya.
Enakan lewat sini pokoknya. Saking indahnya, saat saya menatap Kang Lucky yang sedang live Instagram (ya, disini Simpati ada sinyal, XL dan Indosat nggak ada guys).
Saya bikin quotes ini nih:
Jika kau mencintai sesuatu, dan itu memang baik untukmu, maka salah satu tandanya adalah semesta merestui.
Jalan yang kau tempuh akan jadi mudah.
Dan akhirnya pun akan indah.Namun jika dalam perjalanan menemui cintamu kau merasa lelah, sesungguhnya kau hanya perlu istirahat.
Bukan menyerah.
By: Arum Silviani
Puncak Sunan Ibu, 2343 MDPL
Kami senang banget dong ya. Foto-foto, ngerumpi, menikmati pemandangan, dan makan roti. Sayang, kami nggak bawa kompor portable, jadi nggak bisa ngopi.
Namun karena penasaran, tidak ada Plat MDPL atau petunjuk puncak disini. Padahal semestinya ada. Akhirnya saya bilang ke Mbak May dan Kang Lucky.
Apa iya disana ada jalan? Tanya saya seraya menunjuk ke sebelah kanan kami. Akhirnya Kang Lucky pun penasaran dan mencari jalur. Ternyata benar!
Disitulah Puncak Sunan Ibu. Hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami beristirahat. Ada plat Puncak Sunan Ibu, 2343 MDPL. Hanya saja Plat tersebut sudah terkoyak dan pecah. Karena materialnya bukan dari seng, melainkan dari akrilik.
Kami satukan Plat tersebut, lalu kami letakkan diatas batu. Demi dapat berfoto yang ada MDPLnya.
Pemandangan ini mengingatkan saya pada Ranu Kumbolo, Surganya Mahameru yang saya datangi beberapa tahun lalu. Nggak mirip sih, tapi inget aja gitu.
Nah dari Puncak Sunan Ibu ini, Saya melihat jalur yang belok kiri, ada tangganya. Tapi kok sepertinya ini menuju kawah putih? Kepengin sih nyoba jalur tersebut, tapi kan kami parkir mobil di depan Masjid Cipanganten. Akhirnya kami nggak jadi lewat situ.
*ternyata bisa kok kawan-kawan, kalau kita lewat situ. Tinggal ikuti jalan berpaving block, terus nanti kalau sudah ketemu camping ground dan melewati danau, kalian belok kanan supaya bisa kembali ke Masjid Al-barokah Cipanganten.
Baca juga: Persiapan pendakian ke Ranu Kumbolo, Gunung Semeru
Puncak Sejati Bukanlah Tujuan
Saat melihat Puncak Patuha di sebelah kiri kami, lalu melihat waktu sudah menunjukkan pukul 13.30, kami pun merasa cukup. Sudah puas melihat Kawah Putih dari atas sini. Indahnya sampai ke sanubari. Tak perlu kami tambahkan perjalanan ke puncak yang lebih tinggi.
Padahal mah mager guys. Capee…karena untuk menuju Sunan Rama/Puncak Sejati Gunung Patuha, kita harus lewat jalur yang terjal menuruni gunung, lalu kembali naik ke puncak. Sedangkan keadaan pada saat itu, angin sudah sangat kencang, kabut pun sudah turun. Sehingga jika kami melanjutkan perjalanan pun akan berbahaya.
Puncak bukan tujuan, karena tujuan sebenarnya adalah pulang, kembali ke pelukan orang-orang tersayang.
Add comment