Saat saya Solo Traveling ke Ipoh, waktu saya memang tidak banyak. Karena satu dan lain hal, akhirnya saya memilih untuk pulang pergi dari Kuala Lumpur ke Ipoh. Nah, kemana saja saya di kota Perak ini? Kalian boleh contek itinerary sehari di Ipoh untuk solo traveler.
Tulisan ini adalah lanjutan dari Langkah Pertama di Ipoh.
Rangkaian Solo Traveling di Malaysia:
- Cara Naik Kereta dari Bandara ke BSD
- Itinerary Sehari di IPOH untuk Hijab Travelers
- Solo Traveling dan Langkah Pertama di IPOH
- Cara beli tiket ETS Malaysia
- Tips Solo Traveling ke Kuala Lumpur
- Gagal fokus di Genting Cable Car
- Genting Premium Outlet, Benarkah Semurah itu?
- Cara ke Batu Caves naik kereta
Ipoh Town Hall
Cerita tentang langkah pertama di Ipoh sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya. Saat pertama keluar dari Ipoh Railway Station yang siang itu anggun dan menawan mata, para pecinta bangunan tua.
Baca juga: Langkah Pertama di Ipoh
Di seberang Ipoh Railway Station, terdapat bangunan cantik lainnya. IPOH Town hall yang selesai dibangun pada tahun 1916. Bangunan indah ini didesain oleh arsitek yang sama, yang merancang Ipoh Railway Station, Arthur Benison Hubback.
Saya menyusuri tepian gedung, yang hingga kini masih tertata apik. Kesan pertama di Ipoh adalah, kotanya lengang, persis seperti yang saya bayangkan di kepala saya sejak di tanah air. Bahkan lebih lengang dari yang saya perkirakan.
Kalian para pelancong introvert sepertinya akan suka dengan kota kecil ini.
Birch Tower Clock
Selanjutnya, di belakang Ipoh Town Hall, terdapat sebuah tugu jam yang disebut sebagai Birch Tower Clock. Mirip jam gadang di Bukittinggi.
Menara Birch Memorial Tower Clock di Ipoh adalah monumen bersejarah yang didirikan pada tahun 1909 untuk mengenang J.W.W. Birch, Residen Inggris pertama di Perak yang terbunuh pada tahun 1875.
Menara jam ini mencerminkan pengaruh kolonial Inggris yang kuat dalam arsitektur Ipoh. Dengan menara jam yang menjulang tinggi, tempat ini menjadi salah satu ikon kota yang sayang sekali jika dilewatkan dalam itinerary sehari di Ipoh.
Pencarian Nasi Ganja yang legendaris
Siang itu, hanya saya seorang yang berjalan menyusuri Birch tower clock, lalu berlanjut ke lorong Panglima. Beberapa karyawan terlihat sedang makan siang di kedai makan sekitar. Namun saya ingin makanan pertama saya di Ipoh adalah Nasi Ganja, atau Nasi Kandar Ayam Merah yang legendaris itu.
Dari Lorong Panglima, saya terus berjalan mengikuti petunjuk arah. Sesungguhnya, jalannya lurus dan mudah ditemukan, tapi ternyata cukup menguras tenaga karena panas yang menyengat dan kelembabannya tinggi sekali. Padahal hanya sekitar 1,2 km jauhnya. Di Bandung, jarak segitu bisa saya tempuh dalam 10 menit berjalan santai. Tapi di Ipoh tidak. Kita sudah banjir keringat.
Dalam perjalanan menuju Nasi Ganja ini, saya melewati Lorong Bijih Timeh, Mural Arts Lane, Masjid Panglima Kinta, dan Kinta River Park. Cukup menghibur saya ditengah suhu 41 derajat celcius.
Ketika akhirnya sampai ke kedai makan Nasi Ganja yang terkenal itu 20 menit kemudian, saya menarik nafas panjang. Lega.
Kondisi kedai penuh saat itu. Sang pemilik kedai bertanya pada saya apakah saya bersedia jika bergabung dengan meja lain. Saya jawab tidak apa. Dua orang wanita yang sedang makan di meja dengan empat kursilah yang menjadi teman makan saya siang itu.
Sejenak, saya ngobrol dengan mereka. Keduanya ramah, bahkan ketika mereka tahu saya dari Indonesia, sebelum pergi mereka berpesan pada saya, “Jaga diri ya.”
Saya yang tak pandai bahasa Melayu hanya bisa menerka, mungkin kalau dalam bahasa Indonesia, hati-hati ya. Barangkali diantara kalian ada yang bisa bahasa Melayu, boleh kasih tahu saya artinya di kolom komentar.
Makan siang saya kali itu istimewa. Baik hidangannya, juga perjuangannya menuju tempat ini. Saya memesan nasi kandar dengan lauk udang besar, dan sayuran. Rasanya merupakan perpaduan masakan Aceh dan Padang. Jadi tidak asing di lidah saya.
Concubine Lane, Market Lane, Arlene House
Selesai makan Nasi Ganja, perjalanan saya lanjutkan berjalan kaki ke Big Mom Beancurd. Tapi sesampainya saya disana, saya mengurungkan niat. Sepertinya saya ke Concubine Lane saja. Sehingga saya menyusuri lagi jalanan Ipoh yang siang itu sungguh luar biasa panasnya.
Saya belum berniat naik grab karena memang masih ingin menikmati desain bangunan-bangunan tua yang berjajar di depan mata saya. Sayang rasanya jika saya lewatkan terlalu cepat. Khawatir memori kamera hanya gambar saja, sedangkan otak juga indera saya tak turut serta merekam moment dan suasananya.
Sambil berjalan, rasa penasaran saya akan Market Lane, Mural Arts Lane, dan Concubine Lane terbayarkan sudah. Juga Arlene House, yang akhirnya saya temukan setelah saya selesai menyusuri belakang Kong Heng dan Book Xcess.
Lokasinya berdekatan.
Wisata Kuliner IPOH
Di mata para wisatawan, Ipoh terkenal dengan kulinernya. Diantaranya ada Ipoh Hainan Chicken Rice dan Tauge di Restaurant Chinesse Food, Yong Tau foo, dan Sar Kok Liow. Atau Kedai Kopi Sin Yuan Long. Tapi karena saya muslim, maka kebanyakan makanan di restaurant tersebut tidak dapat saya cicipi.
Saya juga sangat berhati-hati disini. Setiap saya akan memesan makanan atau minuman, saya bertanya dulu pada penjualnya. Apakah ini halal?
Hingga akhirnya pada saat saya kepanasan, saya memutuskan untuk menepi di sebuah café. Old town heritage café yang bertuliskan “Moslem Friendly”
Saya memesan segelas white coffee ice, yang cukup untuk melepas dahaga. Harganya sekitar RM13.
Di dalam café ini AC juga menyala dengan sangat baik, jendela-jendela kaca juga ditutup dengan tirai, sehingga suasana di dalamnya terasa nyaman. Pelayanannya juga sangat baik dan ramah. Mirip seperti di Indonesia.
Padang Ipoh
Letaknya tak jauh dari Arlene House. Setelah memotret beberapa gedung di sekitarnya, saya berjalan kaki ke Dataran Ipoh. Sejenak saya menikmati suasana sore di tempat itu.
Matahari tak lagi terlalu terik bersinar. Saya pun bisa melihat banyak burung merpati sedang mengelilingi Tugu IPOH. Lucu sekali mereka.
Berbeda dengan burung merpati yang saya temui di Mekah dan Madinah, burung-burung di IPOH tidak takut dengan saya. Saat saya mendekati mereka, mereka tetap tenang dan tak terganggu.
Dataran Ipoh sendiri berbentuk lapangan. Atau kalau di Indonesia, mungkin kita menyebutnya dengan alun-alun.
Dari Padang Ipoh saya melanjutkan perjalanan ke Big Mom Bean Curd dengan Grab. Tarifnya sekitar 5,12 RM atau Rp19.000. disini tidak ada Grab motor, hanya ada mobil. Rata-rata mobilnya bersih dan nyaman.
Pembayaran grab sendiri sudah saya sinkronkan dengan kartu debit BCA saya. Jadi saya tidak perlu mengeluarkan uang cash lagi.
Big Mom Bean Curd
Rute saya memang agak berputar-putar. Sebenarnya akibat dari keterlambatan kereta yang hampir 2 jam tadi, sehingga mengacaukan banyak agenda saya.
Tapi tak mengapa ya, toh akhirnya tujuan saya tercapai. Hampir 100% itinerary saya terpenuhi. Meskipun hanya sebentar saja menikmatinya.
Termasuk Big Mom Bean Curd ini. Sebuah restaurant yang menyajikan menu desert dari Kembang Tahu. Kalau di Indonesia saya sama sekali tidak suka dengan kembang tahu yang dicampur air jahe. Aneh rasanya.
Namun demikian, di Big Mom Beancurd, enak sekali ternyata. Kembang tahunya lembut, dipadukan dengan kacang merah dan kacang tanah. Air jahenya juga tidak terlalu strong, sehingga saya dapat menerimanya dengan mudah. Enak sekali malah.
Owner dan pramusajinya juga ramah sekali. Service excellence pokoknya. insyaAllah nanti di lain waktu, saya akan kembali ke tempat ini lagi. Dengan keadaan terbaik, dan dengan orang-orang tersayang.
Deen DT Cendol
Sayang sekali saya tidak sempat mencicipi cendol legendaris Ipoh yang satu ini. Perut saya sudah terlalu kenyang. Lagipula hari sudah semakin sore, yang artinya, kereta yang akan membawa saya ke Kuala Lumpur akan segera berangkat.
Sehingga kali itu, saya hanya memotretnya dari seberang. Lalu saya juga duduk di gerbang malam. Kios-kiosnya belum banyak yang buka, karena hari masih terang. Biasanya mereka akan mulai menggelar lapaknya manakala mentari mulai tenggelam.
Penutup Perjalanan
Perjalanan saya di Ipoh ditutup dengan berfoto di Lorong Panglima, Birch Memorial Clock, dan Sultan Idris Shah II Mosque yang sore itu nampak sangat anggun.
Sebuah perjalanan yang takkan terlupakan. Mungkin 10 tahun ke depan, saya takkan ingat berapa banyak uang yang saya keluarkan untuk perjalanan ini. Tapi satu yang pasti, kenangannya akan melekat sepanjang hidup.
Menorehkan jejak di sebuah kota tua yang sarat akan sejarah dan ceritanya.
Kalian boleh mencobanya, bersama teman, keluarga, atau solo traveling juga tak mengapa. Nanti saya cerita lebih detail pengalaman saya dalam Solo Traveling Malaysia secara lengkap di postingan berikutnya. InsyaAllah.
Add comment