Asal-Usul Nama Kampung Naga Tasikmalaya Jawa Barat
Budaya Kampung Naga Tasikmalaya
Haiyyaa…sebulan lebih nggak posting, gabungan antara efek males sama terlena dengan dunia nyata. Apasih akutuuh…hehehe…ntar lah ya saya ceritain kenapa saya malas posting. Anyway…Kali ini saya mau ngajak kalian ke tempat wisata yang mungkin agak terdengar asing. Kampung Naga. Sebuah kampung tradisional yang terletak di Tasikmalaya, memiliki pemandangan indah dan kearifan lokal yang dipertahankan turun temurun. Yuk deh kita mulai cerita dan reviewnya, supaya kalian pembaca setia bisa dapat gambaran keindahan Kampung Naga Tasikmalaya.
Memulai Petualangan di Kampung Naga
Suatu pagi di suatu waktu, saya dan teman-teman se-geng mengeksplore Tasikmalaya. Sebuah kota di Jawa Barat yang terkenal dengan kesuburan tanahnya, keramahan warganya, juga keindahan batiknya. Namun kali ini agak sedikit beda, yang dieksplore adalah kearifan lokal warga setempat.
Dipandu sama dedek Agung, akhirnya kami bisa berkenalan dengan Detty Herlianisy, neng geulis putri dari kepala suku di Kampung Naga. Beruntung banget kan? Putri Kepala Suku Kampung Naga ini punya pengetahuan yang luas tentang daerahnya, lengkap dengan sejarah dan budaya Kampung Naga.
Asal-Usul Nama Kampung Naga
Banyak orang menyangka Kampung Naga itu sama artinya dengan “Dragon Village” padahal….Salah besar sayang-sayangku. Kampung Naga tidak bisa diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Detty menjelaskan, Kampung Naga berasal dari Bahasa Sunda, kependekan dari “Kampung Nagawir” atau kampung yang letaknya “menggantung” di lereng bukit.
Jadi kalau kita lihat, rumah-rumah di kampung ini terletak di tanah yang berundak gitu.
Lokasi Kampung Naga
Secara administratif, Kampung Naga berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Jadi kalau kalian mau ke kampung ini, dari kota Tasikmalaya dapat ditempuh sekitar 30 km. Sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 km. Bisa dibilang, kampung ini berada di pertengahan antara Garut dan Tasikmalaya. Nggak terlalu jauh dari jalan raya Garut-Tasikmalaya.
Tapii…karena letaknya di lembah, untuk menuju ke tempat ini kita harus melewati undakan anak tangga yang jumlahnya sekitar 400-an. Kayak iklan wafer ya? Berapa lapis? Ratusan…
Lanjut…
Dari tangga ini kita bisa melihat Kampung Naga di belakang sana. Tersusun rapi dan sangat bersih. Tidak ada sampah sedikitpun di tempat ini.
Budaya Kampung Naga Tasikmalaya
Berbeda dengan udara di Kota Tasikmalaya yang cenderung panas, di Kampung Naga ini sirkulasi udaranya sangat baik. Jika masuk ke rumah warga, maka kalian bakal merasa sejuk dan adem. Rumah warga di Kampung Naga semuanya terbuat dari Kayu, dengan atap dari daun nipah, alang-alang, ijuk, dan dinding dari bilik bambu dengan anyaman sasag. Lantai rumah harus dari bambu atau papan. Sedangkan bahan rumah tidak diperbolehkan menggunakan tembok, meskipun warga memiliki kemampuan membangun rumah tembok.
Semua rumah disini juga merupakan rumah panggung yang berada sekitar 1 meter diatas permukaan tanah. Biasanya, kolong rumah dijadikan sebagai tempat memelihara hewan ternak, utamanya ayam. Kalau ternak jenis lain seperti kerbau, sapi, atau kambing dipelihara di sisi lain kampung ini.
Oh iya, semua rumah disini hanya memiliki pintu depan, namun tidak memiliki pintu belakang. Filosofinya, agar rejeki yang sudah masuk lewat pintu depan, tidak keluar lewat pintu belakang. Sebagai gantinya, biasanya warga setempat membuat jendela besar yang menghadap ke belakang rumah.
Keunikan lainnya, rumah di kampung naga ini tidak boleh dilengkapi dengan perabotan. Tidak ada kursi, meja, maupun tempat tidur. Sehingga rumah terlihat lapang. Tapinya, saya nggak sempet nanya ke Detty tentang filosofi kenapa tidak diperbolehkan ada perabotan di dalam rumah. Rumah juga tidak boleh di cat. Kecuali dikapur.
Sejak dahulu, hanya ada 111 rumah di Kampung Naga. Termasuk Balai Pertemuan atau Bale Patemon, Bumi Ageung, dan Masjid. Jumlah ini tetap dan tidak boleh bertambah. Rumah harus menghadap utara atau selatan dengan memanjang ke arah Barat-Timur.
Kampung Pareum Obor
Dalam Bahasa Sunda, Pareum berarti mati. Obor berarti penerangan. Sehingga Pareum Obor berarti mati penerangan. Warga Kampung Naga menolak keberadaan listrik. Alias memilih hidup dalam kegelapan. Hanya ditemani lentera yang jumlahnya tak seberapa di dinding rumah mereka.
Memasak pun demikian, mereka masih mempertahankan cara tradisional dengan menggunakan hawu/pawon, dan kayu. Tidak diperbolehkan ada kompor disini, meskipun itu kompor minyak tanah.
Tidak Boleh Ada Toilet Di Dalam Rumah Warga
Keunikan lain Kampung Naga adalah tidak boleh adanya toilet atau kamar mandi di dalam rumah warga. Namun demikian, bukan berarti kampung ini tidak punya toilet. Ada, tapi terletak di wilayah luar kampung, yang dibatasi oleh dinding anyaman bambu. Toiletnya pun masih tradisional, dengan air mengalir dari mata air, dan dibawah toilet selalu ada kolam ikan.
Tradisi Botram Warga Kampung Naga
Botram dalam Bahasa Sunda berarti makan bersama. Saat kami datang, kami dijamu di rumah Detty dengan masakan Sunda yang sederhana, namun jangan ditanya kelezatannya. Semuanya lezat dan nikmat, apalagi saat disantap bersama orang-orang terdekat.
Kalian pernah dengar bahwa masakan yang dibuat dengan cinta rasanya lebih lezat? Begitulah gambaran rasa masakan disini. Lezat dan berkah karena dibuat dengan cinta dan keikhlasan warganya.
Saat masuk Kampung Naga, saya juga sempat melihat Kakek berusia 88 tahun sedang menumbuk padi. Boleh jadi, nasi yang kami makan adalah hasil kerja keras sang kakek, bukan?
Tempat Larangan Di Kampung Naga
Ada satu bangunan di Kampung Naga, yang menjadi larangan bagi pengunjung. Jangankan pengunjung, warga setempat pun tidak sembarangan yang diperbolehkan masuk bangunan tersebut.
Bangunan ini sepintas tidak jauh berbeda dengan rumah warga. Namun dipagari anyaman bambu dan tertutup. Berdasarkan informasi dari Detty, bangunan tersebut adalah tempat menyimpan benda pusaka dan warisan nenek moyang pendiri Kampung Naga.
Selain dilarang masuk, kita juga dilarang memotret bangunan tersebut. Konon, pernah ada yang nekat memotret, dan wisatawan tersebut langsung sakit. Kameranya pun rusak.
Ya, meskipun sudah di era modern seperti sekarang, kita tetap harus menghormati budaya setempat, kan? Setiap rumah dan wilayah punya aturan. Apa salahnya jika kita sebagai tamu menaati peraturan tersebut?
Lokasi bangunan itu terletak diantara rumah-rumah ini:
Berpose di Kampung Naga
Rugi kalau kamu sampai nggak berpose di kampung ini. Setiap sudutnya unik, cantik, dan tak membosankan dipandang mata. Bahkan menciptakan kedamaian jika kita berlama-lama di Kampung Naga. Mungkin suatu saat nanti saya akan kembali ke rumah Detty, dan mencoba petualangan dengan menginap di rumahnya.
Menikmati hidup tanpa listrik, tanpa sentuhan dari dunia luar. Pokoknya pengen ngadem deh.
Tiket Masuk Kampung Naga Tasikmalaya
Tidak ada tiket masuk disini. Anda bisa bebas berkunjung kapan saja, bercengkrama dengan warganya, tanpa dikenai biaya sepeserpun. Bahkan saat saya datang kesana, anak-anak setempat memberi saya setangkai bunga. Disertai dengan senyuman lugu mereka.
Nah, karena nggak bayar, bukan berarti kalian nggak punya kesempatan untuk membantu warga sini kan, ya? Karena warga setempat punya mata pencaharian bertani dan pengrajin, maka kalian bisa membantu mereka dengan membeli hasil bumi dan kerajinan yang mereka buat. Supaya kampung ini tetap lestari.
Warung di atas adalah tempat warga mengumpulkan hasil kerajinan dan hasil buminya, untuk dijual ke pengunjung. Ada beras, gula aren, alat dapur tradisional, dan lainnya.
Salam Cinta Dari Kampung Naga Tasikmalaya
Tak terasa, hari sudah semakin sore. Saya dan teman-teman harus segera kembali ke Kota Tasikmalaya, untuk kembali ke Bandung dan Jakarta. Tempat asal kami. Semoga informasi yang saya berikan bisa membantu teman-teman semua yang ingin mencoba petualangan berbeda di Kampung Budaya Tasikmalaya.
Keterangan foto: Kiri ke kanan: Detty, Saya, anak-anak, Agung, Mbak Nik, Kang Ichsan (Driver yang mengantar kami), Teh Iva, Bhekti.
Maaf ya tulisannya kebanyakan, sekedar melampiaskan isi otak yang sekian lama disimpan. Sayang kalau nggak dibagi-bagi. Hehe…
How to get there:
Dari Jakarta, Ada beberapa pilihan moda transportasi menuju Tasikmalaya. Dengan Pesawat, Kereta Api, Bus, dan Shuttle Travel.
Pesawat:
Garuda: Jakarta (Halim Perdanakusuma) – Tasikmalaya (Wiriadinata) ini berangkat pada pukul 11.50 dan tiba di Tasikmalaya pada pukul 12.50 WIB. Sementara, dari Tasikmalaya menuju Jakarta (Halim) pukul 14.00 dan tiba pukul 15.00 WIB.
Wings: Jakarta (Halim Perdanakusuma)-Tasikmalaya (Wiriadinata) 10.35 – 11.30, Tasikmalaya (Wiriadinata) – Jakarta (Halim Perdanakusuma) 11.55 – 12.50.
Kereta Api:
Gambir – Tasikmalaya: KA. Pangandaran, KA. Galunggung, KA. Pasundan, KA. Serayu.
Bus:
Dari terminal cari tujuan Tasikmalaya.
Kendaraan Pribadi: Sekitar 6 jam dari Jakarta (waktu tempuh normal). Tergantung kondisi kemacetan jalan.
Jika anda berminat untuk menyewa mobil berikut driver di Tasikmalaya, saya rekomendasikan ke Kang Ichsan. Kalian bisa hubungi disini:
Sugema Rental: 0821-2030-7272
Kang Ichsan: 0853-2202-9997
Special Thanks to:
Neng Geulis Detty Herlianisy, Narasumber sekaligus sahabat yang menyenangkan. Terima kasih sudah dijamu di rumah, kasih pengalaman seru, dan menjelaskan dengan gamblang asal-usul Kampung Naga Tasikmalaya.
Dedek Agung, yang sudah mengatur trip ini dan ngenalin saya ke orang-orang seru dan tulus hatinya. Semoga bisa trip ke Tasikmalaya lagi, ke tempat yang nggak kalah seru.
Post Terkait:
- Rekomendasi Jalan-Jalan di Tasikmalaya
- Review City Hotel Tasikmalaya
- Review Stasiun Banjar
- Review Kereta Api Pangandaran Jakarta Tasikmalaya
Hai mba Arum, seneng bisa ketemu dengan mba :))
Oiya, saya bantu jawab “kenapa di Kampung Naga tidak ada meja, kursi, lemari dan tempat tidur?”
Untuk tempat tidur, masing-masing rumah punya tempat tidur. Baik yang pakai ranjang ataupun langsung digelar di lantai (papan kayu rumah). Lemari pun beberapa rumah punya, untuk menyimpan baju atau untuk menyimpan barang lainnya. Tetapi untuk meja dan kursi memang tidak ada. Kenapa? Karena masyarakat duduk langsung di lantai kayu, tak ada karpet permadani. Hanya ada tikar saja, bagi yang punya. Duduk dan makan di lantai rasanya lebih enak daripada duduk di kursi hehehe kalo abis makan kan bisa langsung selonjoran hehehe 😀
Waah…ada tuan rumah disini. Tambah lagi infonya dari narasumber… wawasan baru buat yang berkunjung ke blog ini. Bahwa kesederhanaan juga bisa bikin kita bahagia ya. Asalkan dinikmati sama-sama. Abis makan pada tiduran sih biasanya. Nikmatin angin sepoi-sepoi disana.
Btw haturnuhun neng geulis, nice to meet you. Semoga bisa ketemu lagi kita ngetrip bareng 😀
Selamat siang..
perkenalkan saya Kornelius Irwanto, ingin membawa rombongan study tour untuk ke kampung naga. Jika berkenan bisa mbak Detty menjadi narasumber untuk trip ini. Akan ada kurang lebih 50 peserta dari Serpong Tangerang, rencananya tanggal 20 Februari 2020.
Saya bisa dihubungi di nomor 0818-867-105.
Terima kasih juga untuk Ibu Arum yang sudah memberikan info ttg Kampung Naga ini.
Salam hangat,
#kawanjelajah