Bhekti : Makanya tadi aku tanya teteh, beneran mau naik bisnis? Orang biasanya rewel gitu.
Saya hanya bisa menelan ludah. Menatap tiket di tangan sambil berucap “Ouch….” (si Bhekti puas banget mandangin wajah saya yang shock).
Baiklah, singkat kata kami sudah di kereta Bisnis Lodaya, dengan saya diketawain sama Mbak Yanti dan Bhekti. Saya hanya bisa meringis. Nggak bisa komen apa-apa lagi.
Kereta Api Lodaya, Kelas Bisnis Mei 2012 |
And the nightmare begun. Masuk Stasiun Kiaracondong, masih aman lah ya…cuma ada satu cowok duduk di sebelah saya. Masuk Stasiun Cipeundeuy, Innalillahi…itu pedagang menyerbu masuk. So, apa bedanya kelas bisnis dan ekonomi? Nggak ada bedanya! Wuidiiihh…mana pedagangnya galak pula. Saya sampai bingung nolaknya. “MIJON MIJON!!! AQUAAA!!! KOPI SUSU ABC!!! POP MIE POP MIEEE! PECEL-PECEEL! MIJOOON!”
Ya, mereka menyebut minuman berenergi Mizone dengan Mijon.
“TAHU TAHU! GEHU ANGEETT!!!”
“Neng, bade? Gehu anget?!”
Ini orang mau dagang apa nyekokin gue, ya? Pikir saya waktu itu. Habisnya, galak banget.
Saya sampai pengin bilang ke si mamang Gehu, Mang, sabar mang…keluarga menunggu dirumah. #Halah.
Sekitar sepuluh menit berhenti, kereta kembali melaju. Daaan…saya melihat Mbak Yanti dengan bahagianya lagi makan jagung rebus! Dan si Bhekti lagi senyum-senyum sambil makan pop mie. Aduh, dua orang itu. Si hobby makan. Padahal di stasiun Bandung tadi sudah makan *-*
Anyway…saya sama sekali nggak enjoy di jalan. Serangan-serangan pedagang makin membabi-buta. Belum lagi kipas angin yang bikin masuk angin, dan angin menembus lewat kaca jendela kereta yang pecah. Udah gitu, cowok di sebelah saya ini nggak asyik banget. Boro-boro bisa ngobrol. Wajahnya malah galau tingkat dewa. Setiap saya gerak sedikit, dia seolah mau makan saya. Wuaaa….ampun mas…ampuuun…
Walhasil, sepanjang perjalanan Bandung-Solo, saya nggak tidur sama sekali. Melalui kaca jendela, saya menikmati lampu-lampu, jalanan, dan berkhayal, andai aku bisa terbang…
Sampai Stasiun Tugu Yogyakarta jam setengah empat pagi. Nah, ini baru mulai bisa tenang. Hampir semua penumpang turun. Termasuk mas-mas yang duduk di sebelah saya tadi. Bahkan di gerbong ini hanya ada kami bertiga dan beberapa awak Kereta. Adrenalin mulai tumbuh. Wuih…Solo…I’m coming baby!!!
Norak? Bodo amat.
Jam lima…
Stasiun Solo Balapan. Langsung deh terngiang-ngiang lagunya Didi Kempot. Ning setasiun Balapan, Kutho Solo sing dadi kenangan, kowe karo aku…naliko ngeterke lungomu…
Hafal ya saya? Hehe…maklum, lagu itu kesukaan almarhum eyang kakung. Tiaaaap hari nyetel VCD campursari dulu.
Kami bersih-bersih di stasiun Solo Balapan, dimana kondisi toiletnya Kotor! Haduh, toiletnya sih sepertinya baru dibangun dan baru direnovasi. Tapi kayaknya nggak pernah dipel deh tuh.
Terus kami bertiga shalat shubuh di mushalla stasiun…sujud syukur sudah dikasih kesempatan ke Solo dengan agenda full vacation (*biasanya full kerja).
Stasiun Solo Balapan |
Di tepi kolam renang Cakra Homestay |
Pendopo Tempat Latihan Gamelan, Photo By : Yanti Suprianti |
Saya nggak menyangka, dengan harga hanya IDR 150rb/malam untuk kamar non AC, homestay ini punya kolam renang gede. Oleh Pak Wisnu, kami diminta untuk tidak berenang. Mungkin karena jarang dikuras kali ya? Saya lihat air kolam agak keruh. Atau mungkin juga karena kolam ini sering dipergunakan oleh bule-bule. Sedangkan kami bertiga berjilbab.
Apapun, saya cukup puas kok menikmati kolam renang hanya dengan memandangnya (*alasan buat orang yang nggak bisa renang).
Fasilitas kamarnya ada kipas angin dan kamar mandi dalam. Karena kami cuma bertiga, maka kami memutuskan untuk extra bed. Hanya saja kondisi kamar agak spooky sih menurut saya. Kami kebagian kamar di lantai 2, tidak disinari matahari, namun tertutup pepohonan nan rimbun. Nggak terlalu panas tapi agak pengap. Keadaan kamar juga agak kotor. Banyak sarang laba-labanya. Tapi…kamarnya luas. Tempat tidurnya juga bersih. Satu-satunya yang saya nggak suka adalah sarang laba-laba yang bertengger hampir di setiap sudut ruangan. Curiga, kamar yang kami pesan ini jarang dihuni. Soalnya kamar lain terlihat bersih. (*warning : rumput tetangga selalu lebih hijau, tapi hati-hati, Sintetis).
To be continue…
Add comment