Hai, kalian apa kabar? Semoga kalian dalam keadaan baik semua ya. Supaya kalian bisa ikuti cerita saya tentang colonial’s café and restaurant hopping di Jakarta. Kali ini, saya mau review kedai seni Djakarte, sebuah restaurant bernuansa kolonial di Oude Batavia atau kita kenal sebagai Kota Tua Jakarta. Buat kalian pecinta bangunan lawas, yuk kita telusuri sama-sama.
Post Tentang Vintage, Colonial Cafe and Resto:
- Review Kawisari Coffee and Eatery, Restaurant bernuansa Indies Belanda di Jantung Kota Jakarta
- 5 Cafe di Semarang bernuansa Tempo Dulu
- Review Warung Kopi Purnama Bandung
- Hafa Warehouse Bandung
- Mengenal Maison Bogerijen, Restaurant Legendaris di Braga
- 10 Tempat Makan Legendaris di Bandung
- Studio Rosid, Tempat Ngopi Sambil Menikmati Galeri Seni Tempo dulu di Bandung
- Loe Mien Toe Cafe, Cafe Vintage di Malang
- Jangan mau dibohongi overpriced cafe di Jakarta
Sebuah Tempat Singgah yang Teduh di Tengah Kota Tua Jakarta
Sebelumnya, saya ngopi di Rode Winkel dengan Mbak Deasy. Setelah sekitar 1 jam ngobrol di café tersebut, kami mencari tempat makan siang. Sengaja kami jalan-jalan keliling Kota Tua Jakarta, yang kali ini sudah berbenah disana-sini.
Banyak bangunan tua yang telah direnovasi, sehingga semakin indah dipandang mata. Selain itu, pembaharuan bangunan ini membuat Kota Tua Jakarta menjadi lebih hidup, seperti di masa lampau.
Hingga akhirnya kami berdua tertarik untuk mencoba makan siang di Kedai Seni Djakarte, sebuah restaurant yang terletak di sebelah Museum Fatahillah.
Sejarah Kedai Seni Djakarte yang kini Berstatus Heritage Register Kelas A
Pada mulanya, Kedai Seni Djakarte merupakan bagian dari kompleks bangunan kantor asuransi bernama Batavia Zee en Brand Assurantie Maatschappij. Bangunan ini didirikan pada tahun 1913 dan dirancang oleh arsitek Pieter Adriaan Jacobus Moojen (26 Juni 1879–1 April 1955). Kalian yang sudah baca tulisan sebelumnya, familiar dengan nama ini?
Bangunan Kedai Seni Djakarte dirancang oleh arsitek yang sama, dengan arsitek Gedung Kuntskring Paleis dan Masjid Cut Meutia.

Gaya klasik eropa mendominasi gedung ini, baik eksterior maupun interior. Kalau kita lihat dari fasadnya, gedung ini terlihat sederhana dengan bentuk persegi dan jendela kayu. Namun demikian, jika kita perhatikan lebih detail jendelanya, kita akan menemukan kemiripan dengan jendela di Kuntskring Paleis, Kawisari Coffee and Eatery, atau Masjid Cut Meutia.
Saat ini, bangunan Kedai Seni Djakarte berstatus Cagar Budaya (heritage register) Kelas A berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) atau Governor Decree Nomor 36 Tahun 2014.
Interior Restaurant
Saat saya masuk ke lantai 1, saya langsung melihat aneka barang seni dijadikan pajangan disini. Banyak lukisan terpampang di setiap dindingnya. Buat kalian pecinta seni klasik, retro, maupun vintage, kalian pasti akan sangat menikmatinya.


Suasana siang itu tidak terlalu ramai. Kendatipun demikian, saya tidak tertarik untuk duduk di lantai 1. Hal itu karena saya lihat banyak yang merokok, bising, dan tidak ada AC.
Kalian bayangkan sendiri di tengah suhu Jakarta yang berkisar antara 33-36 derajat celcius, feels like-nya 40-41 derajat celcius, lalu kalian duduk tanpa AC. Hanya dengan kipas angin dan di sekitar kalian banyak yang merokok. Perpaduan sempurna untuk kabur, bukan?


Kalau saya dan Mbak Deasy, karena lama tinggal di Bandung, tentu saja big no ya. Kami nggak kuat panas apalagi dipenuhi asap. Oleh karena itu, saya naik ke lantai 2, ke ruangan khusus ber AC.
Di lantai 2 ini kita bisa melihat orang berlalu lalang di luar sana, atau orang yang hendak masuk Museum Fatahillah. Jendela ini mengingatkan saya pada sebuah kedai kopi di Concubine Lane, Ipoh. Vibesnya agak mirip gitu.
Menu dan Harga di Kedai Seni Djakarte
Rata-rata menu disini adalah kuliner lokal khas Indonesia. Menurut saya, harganya cukup murah mengingat ini adalah kawasan wisata. Untuk kopi, harganya dimulai dari Rp20.000-35.000. Menu makanan mulai dari Rp25.000, sedangkan cemilan mulai Rp15.000. oh iya, ini belum termasuk tax ya. 10% PPN dan 5% service. Which is itu masuk akal sih.



Di Google Review banyak yang bilang harganya mahal. Lagi-lagi, kalau soal harga itu relatif ya. Seperti yang sudah saya katakan, kita perlu mempertimbangkan lokasi dan fasilitas juga.
Disini kita bisa duduk adem, tinggal pilih tempat duduk yang kalian suka. Nggak digangguin pengamen, nggak kena debu dan polusi juga di luar. Jadi jangan dibandingkan dengan street food di kaki 5. Hal tersebut nggak apple to apple.
Review Pelayanan di Kedai Seni Djakarte
Menurut saya, disini pelayanannya bagus kok. Rata-rata waiternya ramah. Bahkan buat saya yang pemilih soal layanan. Mereka dengan ramah menunjukkan dimana saya bisa duduk, memberikan menu, dan juga menjelaskan menu tersebut.


Serving time-nya standar, antara 10-30 menit, memberi waktu pada kami untuk menikmati keindahan suasana dan bangunannya. Juga membuat saya dan Mbak Deasy merasa santai untuk ngobrol.
Minusnya, di lantai 2 nggak ada toilet. Hanya musholla dan tempat wudhu. But it’s okay, saya mengerti karena ini bangunan lama.
Review Rasa Makanan di Kedai Seni Djakarte
Saya dan Mbak Deasy memesan Bakmie Godhok, Es teh manis, dan Sate Ayam plus nasi. Menurut saya, rasa sate ayamnya cukup enak. Bukan yang enak banget, tapi boleh dibilang average. Dengan harga segitu, okelah.


Daging ayamnya lembut, saus kacangnya cukup enak dan kental, aroma smoky-nya terasa. Nasinya juga nggak keras, sehingga saya nyaman makannya. Memang tidak ada rasa spesial dalam makanan ini, tapi ya nggak apa-apa. Bisa diterima oleh saya.
Porsinya juga pas buat saya. Tidak terlalu banyak, tidak juga terlalu sedikit.

Lalu untuk Bakmie Godhog, mungkin agak terlalu hambar. Saya terbiasa makan dan masak Bakmie Godhok, dan menurut saya tidak sulit untuk membuat Bakmie Godhok yang enak. Disini rasanya masih terlalu standar. Agak hambar kalau buat lidah orang Indonesia. Tapi kalau ditambah sambal dan cabe rawit, oke sih. Bisa menutup rasa hambarnya. Kalian bisa request ke pelayan resto.
Saya request minta extra irisan cabai dan kecap, dan tidak dikenai tambahan biaya. Jadi lagi-lagi, komunikasi di restaurant itu penting.
Total Harga makanan dan minuman kami di Kedai Seni Djakarte sekitar Rp105ribuan sudah termasuk tax.
Apakah saya akan kembali lagi kesini?
Ya, tentu. Di lain kesempatan, saya mau kok balik lagi untuk makan dan menikmati suasana disini. Secara keseluruhan, saya puas kok hangout dan makan di Kedai Seni Djakarta. Restaurant ini menawarkan suasana dan bangunan lama yang terawat dan bisa kita nikmati sebagai bonus. Terutama bagi kalian pecinta bangunan bergaya kolonial Belanda.
Semoga Review Kedai Seni Djakarta ini bisa menjadi pertimbangan kalian yang mau eksplore Oude Batavia. Jangan lupa bawa kamera, karena setiap sudutnya se-estetik itu!
- Review Kedai Seni Djakarte, Restaurant bernuansa Kolonial di Kota Tua Jakarta
- Berlabuh Sejenak di Masjid Cut Meutia, Gondangdia
- Sebuah Review Kuntskring Paleis, Restaurant Mewah dalam Gedung Berusia 100 Tahun di Kawasan Menteng Jakarta Pusat
- Review Kawisari Coffee & Eatery, Restaurant Bernuansa Indies di Jantung Kota Jakarta
- Kepingan Kisah Rode Winkel, Toko Merah Penuh Sejarah yang Kini Jadi Café di Kota Tua Jakarta
Add comment