Sebenernya tadinya saya nggak niat nulis review film My Generation. Tapi kok ya, karena heboh di sosmed katanya ini film remaja nggak bermoral, nggak ada guna, dan sampai ada netizen rame-rame mau boikot, viralkan supaya nggak tayang, dan lain sebagainya, saya jadi merasa perlu meluruskan intisari dari film ini. Terutama pesan moral yang ingin disampaikan oleh sang sutradara, UPI.
Sebelumnya memang saya pernah bahas soal trailernya disini. Bukan mereview ya, tepatnya hanya preview. Pandangan awal. Belum melakukan penilaian. Nah, berhubung Jumat minggu lalu saya diundang ke acara Gala Premier Film My Generation di Bandung, dan saya dikasih kesempatan buat nonton film My Generation dari awal sampai akhir (Nggak cuma trailer lho ini) so, saya akan coba beropini. Meskipun biasanya spesialisasi saya ngereview jurnal ilmiah, bukan film. Hehehe…
Semoga nggak spoiler.
Cerita diawali dari empat remaja yang dicap “Badung” baik oleh sekolah maupun orang tua karena membuat video yang berisi curahan hati mereka. Video inilah yang ditampilkan dalam trailer sehingga seolah nih anak-anak memang anak nggak berguna, bikin onar, tukang ngelawan ortu, dan lain sebagainya (sorry, ini bukan pendapat saya pribadi, tapi beneran loh ada yang mereview trailer dan keliru 🙂 ).
Berbeda dengan trailer yang hanya sepotong-sepotong, film ini menyuguhkan alur cerita yang jelas. Mengapa Konji, Orly, Suki, dan Zeke ini bersikap seperti itu. Kenapa mereka seolah lepas kendali, sulit diatur, memberontak, dan lain sebagainya. Ada sebab musababnya. Nggak asal dong mereka itu langsung protes terus divideoin segala.
Lalu, dialognya memang banyak menggunakan Bahasa Inggris. Came on guys, settingannya mereka memang sekolah di sekolah Internasional. Jadi sang penulis maupun sutradara ingin menyampaikan, di zaman saat ini, kids zaman now yang sekolah di SMA Internasional pun guru-gurunya nggak sepenuhnya bisa bersikap open minded. Jadi nggak jamin kalau lu sekolah di sekolah internasional, maka pola pikir guru-guru dan sistem sekolah lu bakal sama dengan sekolah di luar negeri. Kurang lebih begitu sih pesan moral yang saya tangkap.
Cerita dilanjutkan dengan kebandelan keempat sahabat Konji, Orly, Suki, dan Zeke. Kebandelan ini sebenarnya mereka ciptakan karena mereka nggak dikasih kesempatan untuk mengutarakan apa yang mereka inginkan. Ortu dan sekolah mereka nggak cari jalan tengah sehingga tercipta win-win solution. Tetapi malah ngejudge dan tak percaya pada anak sendiri. Itulah yang membuat mereka berontak. Karena mereka merasa “nggak dianggap ada” oleh orang tuanya. Gitu lho. Demikian pula dengan adegan corat-coret mobil orang. Ternyata mereka punya alasan kuat untuk mencorat-coret mobil itu. Dan kenapa hanya mobil itu yang dicorat-coret. Namanya juga anak remaja yang kurang perhatian ortu, emosinya belum stabil, jadi mereka lebih jujur meluapkan emosi. Kalau kita-kita ini mungkin dididik ortu dengan penuh perhatian, jadi masih bisa mengekang perilaku tak terpuji. #Jiaaa kayak pelajaran PPKN aja.
Di pertengahan film, diperlihatkan kalau sebenarnya si Konji, Orly, Suki, dan Zeke ini ternyata anak pinter dan cerdas kok. Makanya mereka berpikir kritis dan tak jarang jadi absurd karena kurangnya bimbingan. Pengalaman saya sebagai pengajar, seringkali nggak gampang punya anak didik yang pinter dan kritis. Karena kita harus siap menjawab pertanyaan kritisnya dengan disertai logika berpikir yang masuk akal dan nggak menyesatkan.
Di akhir film, ada adegan ketika para remaja ini menyesali perbuatannya. Lalu mereka menyadari kalau sejatinya nggak ada orang tua yang nggak sayang sama anaknya. Permasalahannya adalah komunikasi yang nggak bagus antara mereka. Jadi salah paham antara ortu dan anak.
Anyway, mungkin yang protes karena belum nonton filmnya, harus tabayyun dengan nonton film ini sampai selesai. Untuk yang punya anak remaja, nonton filmnya oke juga jika didampingi oleh orangtuanya. Jadi begitu sampai di rumah bisa dialog antara anak dan ortu.
Apakah ini potret remaja zaman millenial?
Pastilah tak semuanya demikian. Tapi namanya juga film, tentunya nggak semuanya bisa dipotret secara bersamaan dan simultan kan? Kayak kamu yang suka fotografi, secanggih apapun kamera kamu, kamu nggak bakalan bisa motret Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa dalam satu kali jepret, kan? Kecuali pakai google earth, itu pun yang kelihatan hanya berupa bentuk pulaunya saja. Logikanya gitu sih.
Sayangnya, pesan moral yang ingin disampaikan oleh Upi membuat penontonnya harus mikir untuk bisa menangkapnya. Padahal, remaja seringkali menelan mentah-mentah apa yang dilihatnya, dan lengah untuk berpikir. Contohnya soal keempat sahabat yang seolah nggak ada batas antara laki-laki dan perempuan, si Orly dan Suki yang pake bikini, ada adegan ciuman, dan lain sebagainya. Tapi kenyataannya memang banyak di luaran sana. Makanya buat kita sebagai pengajar, atau anda yang sudah jadi orang tua tuh penting banget buat terus mengingatkan anak didik maupun putra putrinya, bagaimana cara bergaul dengan lawan jenis, bagaimana bersikap ke orang lain. Tapi…disertai logika berpikir yes. Nggak Cuma asal melarang yang ujungnya bisa bikin si anak malah penasaran.
Kalau menurut saya, alangkah baiknya pesan moral ini ditulis di akhir film dalam bentuk Quotes. Mungkin akan lebih mengena di hati remaja zaman now.
Duh tadinya mau sedikit malah ngoceh kebanyakan. Sekian dulu kalau gitu ya.
Film My Generation tayang di Bioskop mulai 9 November 2017.
Buat yang suka, silakan nonton dan jadikan bahan pelajaran. Karena yang belum pernah kita lihat, bukan berarti nggak ada. Tapi buat yang nggak suka, itu pilihan anda. Hanya saja, hargai setiap karya orang lain, seperti anda menghargai karya anda. Mengkritisi boleh, tapi yang membangun yes. Biasakan jadi netizen zaman now yang cerdas dan berpendapat yang memiliki dasar. Bukan hanya asumsi.
Add comment