Satu Januari, Ngobrol Bersama Bapak
Sore di Satu Januari, sambil menyesap kopi dan kudapan seadanya, saya pun duduk di depan bapak. Sore ini tak ada sepiring mendoan seperti biasanya, karena mama sedang sibuk nyapu jogan (menyapu teras depan). Sedangkan saya, paling payah kalau disuruh menggoreng. Jadilah hanya ada saya dan bapak yang ngobrol di ruang tengah, mengomentari kopi buatan saya yang wasgitel katanya. Wangi, panas, legi, kentel.
Dalam bahasa Jawa, legi itu artinya manis. Dan sebagai orang Jawa yang suka lebay dan nggombal ke putrinya yang songong ini, bapak saya selalu bilang, ini kopinya kurang gula, jadi minumnya harus sambil lihat Arum, biar manis. Hahaha…stop ah. Nanti anda nggak mau lanjut mbaca. Enek, lalu nutup semua layar. Nggak nyampe deh pesen sebenarnya.
Tapi ya mau gimana lagi, bapak saya memang gitu. Katanya supaya anak tumbuh dengan perasaan dihargai. Sehingga dia bisa menghargai dirinya sendiri, dan tahu bagaimana orang lain menghargai dirinya. Ben ora keblangsak, begitu katanya. Hal lainnya adalah, sejak kecil, bapak selalu mendongeng sebelum saya tidur. Hal yang jauh di kemudian hari baru saya sadari efeknya. Saya pun jadi senang mendongeng dan berimajinasi tinggi, tapi lewat tulisan.
Sambil menyesap kopi, bapak pun kembali bernostalgia. “Ini lho…seperangkat cangkir dan teko ini, dulu dibeli waktu kamu masih bayi. Jadi usianya sudah tiga puluh tahun lebih.”
Nah loh…kalau cangkir dan teko makin tua semakin antik…lha saya piye? #NgumpetDiPojokan, ngenes mode on.
“Dulu belinya cuma empat ribu. Gaji bapak sebulan dulu hanya seratus dua puluh ribu. Iya kan, ma?”
Mama pun mengiyakan, sambil terus menyapu. “Ya…teko dan cangkir itu bagus banget di jamannya. Empat ribu bukan uang sedikit. Kita makan sehari lima ratus rupiah saja sudah kenyang, pak.”
“Iya. Sehari lima ratus rupiah berdua, untuk makan tiga kali. Hanya tinggal di sebuah kontrakan di Cipete. Punya piring dua, gelas dua. Tempat tidur satu, lemari baju dari plastik satu.” Sambung bapak.
Lalu jangan tanya lagi. Kalau sudah bernostalgia, mama dan bapak saya bisa ngobrol berjam-jam. Ngalor ngidul semua dibahas. Hingga berujung pada sebuah nasihat yang sama. Bahwa yang terpenting di dunia ini bukanlah uang dan materi, melainkan usaha dan kemampuan untuk terus nerimo agar hidup bisa bahagia.
Ya itu. Seperti ocehan saya di postingan tentang wanita Jawa, beginilah didikan orang tua saya sejak kecil kepada anak-anaknya. Usaha lan nerimo. Pasrah karo sing nggawe urip (Pasrah pada sang pemberi hidup). Begjo nek oleh sethithik, emut nek oleh akeh (Bahagia jika mendapat sedikit, ingat jika mendapat banyak). Ingat disini dalam artian bersyukur pada Yang Maha Kuasa.
Baca juga: The Untold Story: Sosok Wanita Jawa, Seperti apa mereka sebenarnya?
Lha…usahanya sampai kapan?
Sampai ajal menjemput, harus tetap berusaha. Pantang ungkang-ungkang kaki. Jika sudah berpikir demikian, maka tak ada aral melintang yang tak bisa dilewati. Bukan manusia jika tak mendapatkan ujian. Bukan berlayar kalau tak pernah menemukan badai.
Menjelang hari ulang tahun saya, dan juga ulang tahun pernikahan orang tua saya yang hanya berpaut beberapa hari, tentunya makin membuat keduanya bernostalgia. Dan karena hanya ada saya yang dirumah (adik-adik saya yang mblasur lagi pada main semua) maka sayalah yang dibahas. Bahwa anak pertama, putri pertama adalah saksi perjuangan orangtuanya. Bagaimana orang tuanya memulai hidup baru dari nol. Bahkan ingatan bapak dan mama seolah seperti baru kemarin saat menghadapi kerewelan saya. Saya yang selalu bangun jam 3 pagi dan minta jalan-jalan naik sepeda, saya yang picky eater, saya yang super bandel hingga mengakibatkan insiden “kecelakaan besar” di rumah yang bikin jemari tangan saya nyaris putus. Duh…smoga nanti kalau saya punya anak, bandelnya jangan kayak saya lah ya. Hahaha…
Selanjutnya, bapak pun sampai pada inti obrolannya. Hal yang itu. Hal yang bikin saya garuk-garuk kepala. Soal…“ra usah ngenteni kasur mentul-mentul, yang penting percaya sama nahkodanya.”
Aneh ya. Dalam keseharian, saya dengan bapak tuh nyaris nggak ada sopan santunnya. Saking deketnya. Bahkan nggak jarang kita ngomongnya Lo, Gue. Gaul dong. Saling teriak sana-sini komentar penampilan masing-masing. Tapi kalau sudah menyoal kehidupan, bapak bakal mengeluarkan aneka kegombalannya, juga segala macem filosofinya. Benarkah itu filosofi Jawa? Enggak juga sih, karena bapak saya mah banyaknya ngarang. Bikin filosofi sendiri. Terus dipercayai sendiri. Lalu nyuruh anak-anaknya untuk percaya.
Begitulah bapak. Biarpun tak sempurna, biarpun pastinya ada noda, beliau tetaplah bapak buat saya, juga buat adik-adik saya.
Dan obrolan saya bersama bapak sore itu terputus karena Daya, adik bungsu saya pulang, lalu minta makan. Zzzzzzz…..
Another Random Thoughts.
Add comment