Memulai Hidup Minimalis buat si Maksimalis, Bisa nggak sih?

Memulai hidup minimalis itu tak mudah, tapi bisa dijalani. Itu yang mendasari saya mencoba berkenalan dengan gaya hidup minimalis ini.

Waktu saya bilang ke adik-adik saya, Si Pia sama Daya kalau saya mau jadi minimalis, mereka berdua langsung melengos. Kabur. Terus saya bilang ke mama saya. Reaksi mama adalah,

“Di iyain saja, mumpung lagi waras.” Gitu saja.

Lanjut, saya bilang ke bapak. “Pa, aku mau jadi minimalis.”

Bapak nengok sebentar. “Minimalis itu apa dek?”

Aku bilang, minimalis itu orang yang hidup dengan sedikit barang. Lalu bapak ngeloyor pergi sambil bilang, “Dek, kalau punya cita-cita yang bisa dicapai saja.”

Belum menyerah, saya juga bilang ke sahabat-sahabat saya, “Aku mau jadi minimalis!”

Mereka hanya diam sejenak, menatap saya, lalu melanjutkan pembicaraan antar-mereka. Menganggap bahwa ucapan saya hanyalah angin lalu. Ketika saya protes, mereka semua serentak menjawab, “Mana mungkin kamu bisa jadi minimalis! Setiap keluaran fashion dan sepatu baru, di mall belum ada, di kamar kamu sudah numpuk!”

“Belum lagi buku. Setiap ada novel yang baru akan launching, sudah launching duluan di rak buku kamu.”

“Make up selalu ngikutin apa yang dibilang beauty vlogger.”

Ya, begitulah orang-orang terdekat menilai saya. Saya adalah orang yang maksimalis.

Maksimalis Sejati

Sebelumnya, saya adalah tipe orang yang kalau nemu penulis yang baru saya kenal mengeluarkan karya baru, dan karya itu bagus, maka saya akan beli seluruh karyanya.

Kalau saya ke toko buku, saya adalah golongan orang yang tidak kuat membawa buku yang saya beli, saking banyaknya. Biasanya ada mas pelayan toko yang selalu membawakan buku yang saya beli, ke mobil. Kurir Gramedia pun hafal betul rumah saya, karena setidaknya, dalam seminggu dia akan bolak balik paling tidak 3 kali, mengantarkan buku baru.

Belum lagi kurir lainnya. Setiap hari, ada paket untuk saya ke rumah di BSD. Nanti kalau mama saya mengomel karena saya ketahuan banyak belanja, saya set pengiriman barang tersebut ke Bandung. Biar mama saya tahunya saya nggak pernah belanja lagi. Hehehe…

Penjahit langganan saya, Teh Meity, juga ketiban gaya hidup maksimalis saya. Paling tidak, dalam tiga bulan, saya akan menjahit minimal 8 potong baju atau gaun. Belum lagi butik langganan saya, rasanya dalam sebulan, saya jajan disitu beberapa kali. Dan sekali jajan, minimal 2 potong baju, dan 2 pasang sepatu.

Setiap saya keliling Indonesia, saya akan memborong di toko oleh-oleh, baik itu makanan, aksesoris, maupun kerajinan tangan. Terutama kain khas Indonesia. Itu bisa menghabiskan paling tidak jutaan rupiah sekali belanja. Yap, gaji saya sebagian besar habis disitu.

and you know what? all of that’s stuff never go out from my room.

Sampai akhirnya saya sampai di suatu saat. I should moving! Harus pindahan. Sehingga terpaksa packing. Baru ngeh, ternyata jumlah barang saya menggila. Saya bahkan menemukan banyak sekali barang yang masih baru dan tagnya masih ada. Itu artinya, barang tersebut sudah lama saya beli, tapi belum pernah dipakai. Kelupaan tepatnya.

Packing, Selecting, and Decluttering

Kurang lebih satu bulan lamanya saya packing. Dan proses packing ini menyakitkan. Sakit pinggang, sakit punggung, sakit kaki, sakit tangan. Saking banyaknya barang saya. Akhirnya satu persatu barang saya pisahkan. Tidak mungkin saya membawa semua barang ke tempat baru. Ada yang saya kasih si bibik, kasih ke tetangga, kasih ke teman, kasih ke saudara juga.

Sampai di Jakarta, masih juga banyak barang saya. Akhirnya saya unload dari mobil box bapak. Kurang lebih 25 box buku saya keluarkan, dan saya sumbangkan ke yang butuh. Proses sentimental berlangsung disini. Barang yang dikasih mantan pacar, hadiah dari teman, itu agak susah untuk dilepaskan. Tapi akhirnya pelan-pelan saya lepaskan juga.

Hingga akhirnya saya berhasil mengeluarkan setengah isi lemari saya. Juga buku-buku kesayangan saya.

Kenapa tiba-tiba ingin jadi minimalis?

Sebenarnya saya mulai stress sendiri dengan semua barang saya. Saya merasa, kok barang saya memiliki kekuasaan besar terhadap diri saya. Mereka menghabiskan space di ruangan, menghabiskan energi saya untuk merawat, juga menghabiskan energi saya untuk memilih mau pakai yang mana.

Kalian pernah nggak merasakan seperti saya? Ketika kita mau pergi, terus melihat isi lemari. Saking banyaknya pakaian yang dimiliki, sampai merasa, “Kok aku nggak punya baju, ya?”

Make-up pun demikian. Saking banyaknya make-up yang dipunya, aneka warna, aneka merek, saat mau pergi saya suka merasa, “Wah, kok aku nggak punya make-up yang lengkap ya?”

Belum lagi sepatu. Jumlah sepatu saya ratusan, saya sampai keder sendiri. Bahkan banyak diantaranya belum pernah dipakai sejak beli. Dan itu menghabiskan space di ruangan saya.

Saat pandemi, saya kan nggak pernah kemana-mana tuh. Memang harus dirumah saja. Kita semua dikarantina. Akhirnya saya nggak bisa pakai barang-barang saya. Semakin lah saya tersiksa. Barangnya nggak pernah dipakai, tapi menghabiskan space. Setiap bergerak ke kanan, terbentur buku. Ke kiri, terbentur koper. Dan lain sebagainya. Sampai saya bermimpi, saya kejatuhan barang-barang saya. Seluruh barang yang ada di ruangan saya, menindih saya begitu. Hingga saya merasa sesak nafas.

Bagaimana nanti di akhirat? Pasti saya dihisab atas seluruh barang yang saya miliki. Apalagi jika barang tersebut tidak digunakan.

A New Room, New Vibes, New Life

Sayangnya, saya nggak sempat foto before packing. It’s totally mess! Intinya sih, prosesnya lamaa…beneran proses beberes terlama dalam hidup saya. Jangan tanya soal bagaimana lelahnya. I’m drained!

Saya kasih lihat kamar saya yang sekarang saja, ya.

Memulai hidup minimalis
My room

Nuansanya saya bikin warna putih dan pastel. Sebenarnya saya ingin menciptakan suasana kayak di hotel sih. Karena kan selama pandemi ini saya beneran sulit untuk pergi kemana-mana. Sudah jarang ke hotel juga semenjak status PPKM meningkat terus. Jadi saya beli perlengkapan hotel di Bali, terus saya jadikan pelengkap di kamar saya. Niat banget kan saya?

Memulai hidup minimalis
Meja kerja bebas kabel dan printilan

Saya benar-benar mengatur bahwa, hanya barang yang akan saya pakai yang ada di meja saya. Ternyata saya hanya butuh ballpoint, kacamata anti radiasi, hand sanitizer, tissue, dan laptop untuk perlengkapan Work from home.

Memulai hidup minimalis
Sudut Vavorit

Ini adalah sudut vavorit saya. Tempat saya menghabiskan waktu di pagi hari sambil minum kopi, dan sore hari sambil baca buku atau baca Al-Quran.

Memulai hidup minimalis
indoor plants

Di tempat lama, saya punya lebih dari selusin pot tanaman hias. Saat proses decluttering, saya berikan sebagian besar tanaman kesayangan saya, kepada sahabat saya Mbak Deasy dan Mas Yudi. Kedua orang yang sangat saya percaya akan bertanggung jawab setelah mengadopsi my babies. Saya hanya menyisakan 2 pot tanaman bermedia tanah, dan 1 pot tanaman dengan media air.

Memulai hidup minimalis
Sisa buku

Saya yang maniak buku sebelumnya, hanya menyisakan buku yang benar-benar saya baca dalam jangka waktu 3 bulan ke depan. Sisanya saya taruh di rumah mama, dirapikan menjadi 1 rak saja. Oh iya, semenjak barang saya berkurang banyak, saya jadi senang jika kamar saya wangi enak. Tapi saya nggak suka bau parfum atau pewangi ruangan artificial. Jadi biasanya setiap minggu saya jalan ke toko bunga, dan membeli sedap malam. Bunga aster kadang saya beli untuk mewarnai ruangan saja. Sudah agak layu, ya? Saatnya ke toko bunga!

Memulai hidup minimalis
Space kosong

Dulu, setiap melihat space kosong seperti ini, hasrat hati langsung merongrong, pengen ngisi space kosong itu. tapi sekarang, saya nggak mau lagi. Saya lebih suka yang kosong, biarlah kosong dan lega. Jadi hati ikutan lega.

Memulai hidup minimalis
My bathrobe

Ini yang saya bilang tadi, untuk menciptakan suasana kayak di hotel, saya ganti handuk saya yang biasa menjadi bathrobe ala hotel. Sengaja saya order di Bali supaya vibesnya terasa saja gitu. Oh iya, handuk lama, saya potong-potong, lalu saya gunakan untuk keset di dapur. Lumayan menyerap.

Saya nggak mau ngikutin room makeover di youtube yang diisi dengan barang-barang estetik berupa printilan. Itu hanya akan menumpuk debu, dan nggak fungsional. Semua barang di ruangan saya sekarang, memiliki fungsi, dan semuanya saya pakai.

Lesson Learned Memulai Hidup Minimalis

Ternyata, cukup kok kalau kita hidup dengan sedikit barang. Banyak waktu dan tenaga yang dihemat dan bisa kita gunakan untuk kegiatan produktif lainnya. Banyak space yang kosong, yang bisa membuat pikiran kita tenang. Dan in case kita mau pindahan ke tempat baru, kita nggak perlu pusing berbenah. Karena barang kita nggak banyak, kita bisa efektif dan efisien. Biaya yang dikeluarkan jadi lebih murah, cara membersihkan ruangan pun jauuuh lebih mudah dan lebih cepat, dibandingkan dengan saat kita banyak barang.

Itu dulu cerita dari saya. Diantara kalian ada yang baru akan mencoba hidup minimalis?

Post Terkait:

 

Add comment

AdBlocker Message

Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by disabling your ad blocker.

Follow us

Don't be shy, get in touch. We love meeting interesting people and making new friends.