Sudah lama saya tak membaca buku berbahasa Indonesia. Sudah lama juga saya melewatkan berita media berbentuk tulisan dari tanah air. Bukan karena kesibukan semata, melainkan saya kehilangan “esensi” dari membaca tulisan berbahasa Indonesia.
Kreativitas yang berkarat dari para penutur berita
Perkembangan informasi yang demikian pesat justru membuat kreativitas semakin berkarat. Bahkan hal-hal mendasar seperti typo, salah sebut istilah, salah sebut nama orang, sekarang menjadi hal yang sering dilakukan oleh sebagian besar awak media. Profesi jurnalis yang dulu saya kagumi, jujur kini bikin saya sangsi.
Katanya jurnalis, kok menulis Bahasa Ibu sendiri saja tak bergigi? Apa kabar jika harus menuliskannya dalam bahasa asing?
Saya rindu dengan tulisan-tulisan tajam dalam tajuk rencana Kompas. Rindu kritik pedas dan lugas dari Tempo. Juga pembaca berita yang menyuarakan isi hati rakyat dan investigasi panjang di televisi, yang tak gentar dengan ancaman pihak berkuasa.
Sebagai millenial yang menyaksikan awal demokrasi hingga pesatnya kemajuan teknologi, mau tak mau saya akhirnya memperbandingkan kualitas jurnalis dulu dan kini dalam berbahasa.
Baca juga: Kopi Pertama di Satu Januari
Tentang tombol ctrl + C dan ctrl + V yang kian populer
Saat ini, saya sering merasa, untuk apa saya baca berita di media, kalau toh isinya sama saja? Hanya membuat hati tak tenang. Bahkan tak jarang beritanya malah sama persis dengan media sebelah, dan sebelahnya lagi. Akibat adanya tombol ctrl + C dan ctrl + V
Lantas apa bedanya anda, penulis berita, dengan penjual elektronik di Glodok, yang menggunakan strategi yang sama?
Strategi lebih murah dari “Toko Sebelah.”
Kemana larinya kata-kata lugas nan menggugah rasa juga hati pembacanya?
Kemana?
Tak sadarkah kalian para jurnalis, kesalahan penulisan bahasa pada media akan ditiru oleh mahasiswa, pelajar, dan juga masyarakat?
Kesalahan Berbahasa Indonesia terbawa hingga ke Tugas Akhir mahasiswa
Dampak kesalahan berbahasa Indonesia yang sering ditemui di media ini terbukti saat saya membaca tugas-tugas, atau skripsi mahasiswa. Saya sungguh lelah mengoreksi hal-hal mendasar seperti typo, kesalahan tanda baca, kata hubung, istilah, dan tetek bengek lainnya yang tak selaras dengan makna yang hendak disampaikan.
Masa orang Indonesia tak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar?
Mata saya yang awas pun akhirnya abai karena saking banyaknya kesalahan. Terlalu banyak saya memberi tanda untuk diperbaiki, namun nanti kembali lagi ke saya dengan hal yang sama.
Baca juga: Sebuah Dialog Bersama Mahasiswa di Kelas Tentang Respect
Seringkali saya mengkritisi dan mencoret skripsi mahasiswa bimbingan saya. Mereka banyak menggunakan kata juga kalimat dalam bahasa Indonesia yang tidak baku seperti kata, “Lumrah” “jengah” “ditengarai”. Atau kata hubung yang diletakkan di awal kalimat seperti di, dari, yang, dan, dll.
Mereka juga tak bisa membedakan, mana bahasa Indonesia yang berbentuk frasa di artikel berita, dan bagaimana caranya menyampaikan fakta lewat tulisan ilmiah.
Tak jarang ketika skripsinya saya coret, saya mendapatkan respon begini dari mahasiswa,
“Ibu perfeksionis banget, ini kan hanya typo.”
Atau “Ibu, ini kesalahan saya dimana ya? Kan waktu itu di media XXX tulisannya begini. Itu diloloskan saja sama editornya. Terbit loh bu. Kok sama ibu saya disalahkan?”
Aneka kesalahan fatal yang dianggap minor. Padahal jika dikumpulkan akan mengubah tugas akhir mahasiswa tersebut, menjadi tumpukan sampah belaka.
Kalau orang jawa bilang, Salah kaprah, bener keblinger.
Baca juga: Benarkah Kepalsuan di Media Sosial adalah Bentuk dari Self Defense Mechanism akibat Frustasi?
Buku Berbahasa Indonesia bermutu yang kini kian sulit didapat
Kini, saya juga malas membaca buku berbahasa Indonesia lantaran hal-hal yang saya sebutkan tadi. Saya lebih sering membaca buku berbahasa Inggris. Bukan sok atau belagu, melainkan saya tak mau menghabiskan energi dengan melihat banyak tanda baca yang salah tempat. Tidak hanya itu, banyak typo, kata hubung yang tidak tepat, juga kalimat yang terlalu panjang.
Satu kalimat bisa 6 baris, tanpa koma, tanpa titik. Lalu, bagaimana membacanya?
Meskipun kampanye membaca buku bahasa Indonesia banyak digalakkan oleh pemerintah, namun jika kualitasnya seperti itu, untuk apa?
bersambung…Bahasa Indonesia yang Kehilangan Jati Diri dan Sebuah Cerita tentang Penulis Baper
Arum Silviani, founder of Antasena Edu Projects
Add comment