Bagi kalian yang tinggal di Jabodetabek, mungkin banyak yang sudah mendengar tentang keberadaan suku Baduy. Tentang keunikannya, dan juga tradisi masyarakatnya yang pantang mengenakan alas kaki. Tak jarang pula kita bertemu atau berpapasan dengan orang suku Baduy di Ibukota. Jika Baduy Luar sudah terekspose media, tidak demikian halnya dengan Baduy Dalam. Lantaran rasa penasaran tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti Ekspedisi Baduy Dalam.
Baduy Dalam Trip
Saya ikut open trip Wisuba bersama Bhekti dan Pipit. Sahabat saya dari Bandung dan Jakarta. Harga paket tripnya Rp200ribu, dengan meeting point Stasiun Rangkasbitung.
Harga segitu sudah termasuk makan 2 kali, biaya retribusi, Elf dari Rangkasbitung ke Ciboleger PP, dan menginap satu malam di rumah Warga Baduy Dalam.
Perjalanan Dari Serpong ke Rangkasbitung
Malam sebelumnya, Bhekti datang kerumah untuk menginap. Karena kami akan pergi pagi. Meeting point yang diinfokan ke kami adalah di Stasiun Rangkasbitung jam 09.00-10.00. Sehingga paling tidak, kami sudah berangkat dari rumah pukul 7.00.
Sebelum berangkat, saya cek jadwal KRL dari Stasiun Rawabuntu ke Stasiun Rangkasbitung disini.
Tak perlu menunggu lama, kereta yang ditunggu pun datang. Perjalanan dari Stasiun Rawabuntu ke Stasiun Rangkasbitung ditempuh dalam waktu 1 jam 13 menit, dan tarif Rp6000.
Sedangkan kalau kalian dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkasbitung, maka perjalanan dapat ditempuh selama 1 jam 47 menit. Dengan tarif Rp8000. Murah, kan?
InsyaAllah kalau KRL ini selalu tepat waktu ya teman-teman.
Dari Stasiun Rangkasbitung kemana?
Setelah sampai di Stasiun Rangkasbitung, kalian bisa mencari Elf jurusan Ciboleger. Biasanya sih suka ada yang menawarkan untuk mengantar ke Ciboleger. Adapun Tarifnya adalah sekitar Rp30.000-40.000/orang.
Selain Elf, ada Damri dari Terminal Mandala Rangkasbitung ke Ciboleger. Bus Damri ini Berangkat jam 7.30 dari Terminal Mandala, Tarif Rp20.000. Kembali ke Rangkasbitung jam 13.00.
Kalau saya kemarin sudah langsung dijemput pakai Elf, karena ikut open trip.
Perjalanan dari Stasun Rangkasbitung ke Ciboleger ditempuh selama kurang lebih 2 jam. Jika dilihat dari kilometer sesungguhnya jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 35 km saja. Tapi kondisi jalannya…ya gitu deh. Berkelok dan banyak yang rusak.
Welcome to Banten!
Ciboleger, Gerbang Masuk Baduy Luar
Saya membayangkan, terminal Ciboleger ya seperti terminal pada umumnya. Ternyata imajinasi saya ambyar saat Elf yang saya tumpangi berhenti di Ciboleger.
Jadi terminal Ciboleger adalah sebuah lapangan bertanah merah. Tidak ada bangunan permanen di sekitarnya. Tak ada ruang tunggu, tidak ada pula fasilitas layaknya “terminal”. Benar-benar masih desa.
Udara panas menyengat dan berdebu menyambut kami saat kami turun dari Elf. Panas menyengat dan kering. Mungkin karena musim kemarau. Setidaknya, lebih baik daripada jika kami datang di musim hujan. Sangat becek pastinya.
Lalu, hal pertama yang saya lihat adalah, sampah berserakan. Ya, sampah berserakan dimana-mana. Padahal bisa kan ya, buang sampah pada tempatnya?
Sungguh disayangkan. Padahal Ciboleger bisa jadi destinasi wisata yang cukup bagus menurut saya. Jika dikelola dengan baik.
Fasilitas di Ciboleger
Meskipun semrawut, di Ciboleger ada masjid yang bersih, Alfamart, Indomaret, ATM link, warung kelontong warga, warung nasi, dan banyak sekali penjual Souvenir khas Baduy.
Menurut saya, persiapkanlah uang cash, karena kebanyakan penjual tidak mengunakan QRIS.
Kesan lain tentang Ciboleger, Menurut saya sih kurang tertata ya. Terlihat semrawut malahan. Saya berani bicara begini karena saya sudah pernah melihat pintu masuk kampung adat di tempat lain. Kendatipun aksesnya cukup menantang, tapi bersih dan tertata rapi. Namanya juga kampung adat.
Semestinya ini jadi Pekerjaan rumah untuk pemerintah daerah setempat. Soal akses (Sebagian besar jalan rusak), dan transportasi yang memadai.
Terima Kasih, Ibu Warung!
Kami istirahat di salah satu warung makan di Ciboleger. Sayang saya lupa nama warungnya. Letaknya di ujung yang berlawanan dengan arah Alfamart.
Saat jam makan siang, saya pesan Indomie rebus. Namun oleh ibu pemilik warung, saya ditanya, “Sudah makan nasi belum?”
Saya jawab belum.
Lalu ibu pemilik warung tidak mengizinkan saya order mie rebus. Beliau menyuruh kami makan nasi yang banyak.
“Nanti perjalanan jauh banget, ketemu nasi juga bakal malam banget. Jadi makanlah yang banyak disini.”
Begitu pesan beliau.
Saya, Bhekti, dan Pipit pun menurutinya. Karena kami bertiga tidak ada bayangan sama sekali tentang perjalanan “Wisata Baduy Dalam.” Maka menuruti saran warga setempat adalah hal terbaik.
Satu jam kemudian, saya baru menyadari, betapa berartinya nasihat sang Ibu pemilik warung.
Makasih ya bu! Kalau saja kami tidak makan dengan benar, sepertinya kaki ini tidak akan kuat menempuh jalurnya.
Karena dari pihak yang mengadakan open trip, kami tidak diberi tahu jalan yang dilalui akan sangat terjal.
Jangan Sungkan Menggunakan Porter, Yang Asli Warga Baduy Dalam
Saat memutuskan ikut trip wisata Baduy, saya sudah berniat menggunakan porter di perjalanan Pulang Pergi. Tadinya Bhekti sempat mau bawa sendiri carriernya. Namun untunglah dia berubah pikiran saat hendak memulai perjalanan di Ciboleger.
Menggunakan Porter adalah sebuah keputusan terbaik yang pernah saya, Bhekti, dan Pipit ambil dalam perjalanan ini. Selain mendukung perekonomian warga setempat, pakai porter juga mendukung keamanan punggung kita.
Jika kemari, kalian juga bisa mempertimbangkan pakai jasa porter. Mereka adalah bocah Baduy Dalam. Biarpun masih kecil, jangan pernah sepelekan kekuatan mereka. Beyond expextation. Mereka itu bawa beban 40kg santuy banget.
Kalau tas kalian kecil, biasanya akan dibawakan oleh mereka. Namun jika tas kalian besar, maka akan dibawakan oleh warga Baduy Dalam yang lebih tua.
Tadinya saya berjalan mengikuti mereka, walhasil, saya ngos-ngosan. Akhirnya menyerah saja. Mereka berjalan seperti terbang. Cepat sekali.
Ini dia pahlawan kami:
Mereka tidak mematok harga. Seikhlasnya saja. Tapi menurut Guide kami, satu tas biasanya Rp50 ribu rupiah.
Kalian boleh memberi lebih untuk mereka. Kalau bisa, saat kesana bawa jajanan buat anak-anak ya guys ya. Asli deh mereka pasti seneng banget.
Memulai Ekspedisi Baduy Dalam
Menurut warga Baduy, kawasan mereka dibagi menjadi 3. Luar Baduy (yang jualan souvenir di Ciboleger), Baduy Luar (sekitar 45-60 menit perjalanan jalan kaki dari Ciboleger), dan Baduy Dalam (Yang terletak jauh masuk ke dalam hutan).
Anyway, pada saat memasuki Luar Baduy, kami melihat banyak warga Baduy yang menjual tenun, souvenir, madu, gula aren, durian, petai dll.
Hasil buminya bagus-bagus. Tapi saya juga tidak sempat bertanya harganya berapa. Hanya memandang sekilas saja.
Disini saya akan kasih gambaran bagaimana jalan menuju Baduy Dalam. Kenapa saya namakan Ekspedisi Baduy Dalam? Bukan Wisata Baduy?
Karena memang pantas dinamakan demikian. Sebagai gambaran, naik ke Baduy Dalam via Ciboleger itu seperti 10 kali bolak balik Gunung Purbo Nglanggeran di Yogyakarta. Atau seperti naik Merbabu Via Suwanting, atau naik Gunung Salak tapi ditengah suhu 34-36 derajat celcius.
Menyiksa banget buat saya yang tidak tahan dengan udara panas. Karena sangat menguras energi. Ini pertama kalinya saya mendaki, sampai mandi keringat. The real mandi keringat guys.
Malah saya dan Bhekti sempat berkelakar, ini masih di Indonesia, tapi kok kayak kita naik Gunung Uhud di Madinah sana. Terjal dan berbatu. #BeneranNggakLebay
Jarak Tempuh Ciboleger ke Baduy Dalam
Menurut warga setempat, Jarak tempuh Baduy Dalam via Ciboleger sekitar 12-14 kilometer. Dengan waktu tempuh untuk manusia normal seperti saya, adalah 4-5 jam.
Sebagai perbandingan, kecepatan kaki dan fisik saya (Saya naik Gunung Andong via Sawit 45 menit, Ranu Pani ke Ranu Kumbolo jalan santai 3 jam, bawa beban 12kg. Pulang dari Ranu Kumbolo ke Ranu Pani, jalan cepat hanya 2 jam saja, bawa beban 12 kg).
Rombongan yang tidak biasa mendaki rata-rata menempuh perjalanan ke Baduy Dalam sekitar 6-8 jam.
Berbeda dengan Warga Baduy Dalam yang bisa menempuh rute Ciboleger ke kampungnya selama 1-1,5 jam saja (bawa beban). Fisik mereka outstanding.
Jadi waktu tempuh orang Baduy jangan kalian jadikan patokan ya.
Tanjakan yang kian pedas: Niatnya Healing, Malah Trekking
Tanjakan demi tanjakan terus kami temukan. Seperti tidak ada bonusnya, dan tak tahu pula kapan tanjakan ini berakhir. Sudut kemiringan saya perkirakan antara 45-75 derajat. Bahkan ada yang hampir 90 derajat, yang menyebabkan kami hampir merayap nanjaknya. Untuk bagian ini, saya juga tidak mendokumentasikannya. Disamping berbahaya, malas juga sih mengeluarkan HP.
Buat saya yang tidak persiapan nanjak se-ekstrim dan sepanas ini, saya sampai kena mental. Inginnya putar balik lagi. Bosan ketemu tanjakan terus, tanpa dikasih bonus. Sepanjang jalan dicekoki teriknya sinar matahari.
Sebenarnya hal yang sangat mempengaruhi adalah suhu udara yang sangat terik. Jadi tubuh ini cepat lelah dan dehidrasi. Apalagi kami memulai pendakian jam 13.15. Salah banget huhu….
Pemandangan sebenarnya cukup bagus sih, tapi menurut saya tidak sebanding dengan effort dan suhu panasnya. #senyummeringis.
Sebenarnya kalau judul tripnya adalah Ekspedisi Baduy Dalam, tentu saya tak akan sekaget ini. Lha ini trip dibilangnya wisata, kan jadi mental saya nggak siap. Mana panas banget. Untung saya bawa topi dan pakai baju trekking. Menurut saya, kalian wajib banget pakai dry fit biar nyaman.
Apakah ada jalur lain?
Ada beberapa jalur menuju Baduy Dalam. Ada yang lewat Leuwidamar, Cibeo, dan Cijahe. Karena sudah banyak yang membahas jalur tersebut, maka saya fokuskan bahas track Via Ciboleger saja.
Setelah ada Tanjakan, Pasti Setelahnya ada Turunan
Kayak hidup ya, ada kalanya kita diatas, lalu turun kebawah. Demikian saya memaknainya. Lalu karena saya orang ekonomi, tanjakan dan turunan di Baduy Dalam seperti product life cycle. Dari mulai tahap introduction (Luar baduy), growth (Baduy Luar), Maturity (di Puncak Kanekes) dan decline (Baduy Dalam).
Setelah Nanjak hampir merayap, kini saatnya turun sampai ngesot. Derajat kemiringannya entah sudah berapa ini. Mungkin sekitar 70 derajat.
Saya lupa berapa kali kami beristirahat. Saking seringnya. Tidak ada pos resmi seperti saat kita sedang mendaki. Tidak ada pula papan petunjuk ke arah Baduy Dalam.Sehingga begitu lelah, kami cari pohon yang lebat, lalu duduk di bawahnya.
Kami hanya mengikuti guide yang adalah penduduk asli Baduy Dalam. Yang bahkan, dengan mentari seterik ini, mereka tidak berkeringat sedikitpun.
Masih santuy.
Standing applouse buat mereka. Keren sih!
Minum Air Tanah Baduy Dalam
Di perjalanan, saya kehabisan air minum. Saat sedang haus, saya melihat ada dua pancuran mata air dari akar pohon. Benar ini mata air, bukan halusinasi atau fatamorgana karena saya kehausan.
Mata air ini dialirkan melalui batang bambu. Awalnya ragu, tapi setelah memeriksa bahwa air ini bukan dari aliran sungai, melainkan dari akar pohon, maka saya meminumnya.
Ternyata airnya dingin seperti air es. Menyegarkan, dan rasanya mirip air zam-zam. Belakangan saya baru tahu, ternyata air di kawasan Baduy dalam mengandung mineral yang tinggi. Juga salah satu sumber air terbaik di Indonesia.
Duh semoga terjaga ya…karena saya melihat aliran sungai di Baduy Luar sudah dipenuhi sampah plastik. Sedih banget deh…
Bersambung ke Part 2
Mengenal lebih dekat baduy dalam, kampung adat yang terletak jauh di dalam hutan (Part 2)
Add comment