Kampung Baduy Dalam terletak di lembah, jauh masuk ke dalam hutan. Disini ada 3 kampung. Yaitu Cikeusik, Cikertawarna, dan Cibeo. Meski tinggal jauh di dalam hutan, sebagai manusia biasa tentunya Orang Baduy Dalam tak luput dari kebutuhan akan cinta. Kebutuhan untuk dicintai, dan mencintai. Lalu bagaimana tradisi pernikahan di Baduy Dalam? Benarkah Cinta tak bisa memilih? Apa alasan mereka dibalik tradisi pernikahan yang begitu mengakar? Yuk simak tulisan saya.
Supaya lebih berurut ceritanya, kalian boleh baca terlebih dahulu tulisan tentang Baduy dalam disini:
- Ekspedisi Baduy Dalam via Ciboleger (Part 1)
- Mengenal lebih dekat baduy dalam, kampung adat yang terletak jauh di dalam hutan (Part 2)
Tradisi Pernikahan di Baduy Dalam
Suku Baduy Dalam punya aturan tersendiri soal pernikahan. Tradisi pernikahan di Baduy Dalam yakni, seorang laki-laki berusia 17 tahun akan dipilihkan jodoh oleh keluarganya, lalu dinikahkan. Sedangkan wanita, pada umumnya akan dinikahkan pada usia 13-14 tahun. Hal paling umum di Baduy Dalam adalah, mereka melakukan pernikahan antar sepupu.
Orang Baduy Dalam tidak boleh menikah dengan orang di luar suku mereka. Mereka juga tak menikah karena cinta, karena semua sudah diatur oleh tetua. Sehingga mereka pun harus patuh terhadap aturan tersebut.
Semua aturan dilakukan bukan tanpa alasan. Aturan dan adat ini dipertahankan demi menjaga keaslian dan kemurnian darah Suku mereka, Orang Kanekes.
Selain itu, pernikahan di luar suku dilarang karena berpotensi mengeruk kekayaan yang ada di dalam Suku Baduy. Oleh karenanya, mereka lebih baik menghindari hal tersebut.
Lalu, apa jadinya jika orang Baduy Dalam menikah dengan Suku di Luar Baduy?
Jika menikah dengan orang luar Baduy, maka secara otomatis mereka telah keluar dari suku Baduy Dalam. Mereka tak lagi dianggap mukim. Tidak lagi menjadi bagian Baduy Dalam. Sehingga status mereka adalah tamu, yang hanya boleh menginap 1 malam saja di Baduy dalam.
Bagi mereka yang keluar dari suku juga tidak mendapatkan hak atas warisan orang tuanya.
Sebuah konsekuensi jika memilih cintanya.
Pakaian Putih, Ikat Kepala Putih, dan Lelaki dilarang menggunakan celana
Orang Baduy dalam juga menggunakan pakaian yang sama. Putih. Laki-laki tidak boleh menggunakan celana. Para lelaki Baduy Dalam mengenakan sebuah sarung pendek yang membentuk rok, berwarna hitam, terbuat dari tenun, dengan tali sebagai ikat pinggangnya. Mirip Kilt, pakaian tradisional orang Skotlandia.
Pakaian adat suku Baduy Dalam dinamakan Jamang Sangsang. Pakaian adat ini memiliki ciri khas berlengan panjang dengan cara pakai hanya disangsangkan atau hanya dilekatkan pada tubuh. Desain baju tersebut berlubang pada bagian leher sampai dada serta tidak menggunakan kerah, kancing, dan kantong (mancode, 2023).
Tak lupa, mereka selalu membawa golok dan tas yang terbuat dari kulit kayu terep. Tas kecil yang tak terpisahkan dari para Lelaki di Baduy Dalam, karena untuk membawa keperluannya saat bekerja.
Soal golok ini, setiap anak lelaki di suku Baduy Dalam berusaha keras untuk bekerja, baik itu membantu ayahnya di ladang, atau keluar desa menjadi porter, demi untuk membeli golok. Sejak kecil mereka sudah mahir menggunakan golok. Ayah mereka yang mengajarkannya.
Kalau anak kota pasti golok dianggap hal yang sangat berbahaya. Bisa untuk mainan, senjata tajam dan lainnya. Namun bagi anak lelaki di Suku Baduy Dalam, golok adalah alat untuk bertahan hidup. Untuk bekerja, dan bekal untuk menafkahi keluarganya kelak. Sehingga sejak kecil, mereka tahu golok bukanlah alat untuk menyakiti orang lain. Melainkan alat yang cukup sakral buat diri mereka.
Kembali lagi ke pakaian adat. Untuk para wanitanya, mengenakan kebaya putih.
Ada perbedaan pakaian yang dikenakan wanita yang sudah menikah dan belum menikah. Yang sudah menikah biasanya mengenakan pakaian yang terbuka di bagian dada. Sedangkan yang belum menikah, seperti foto di atas, mereka mengenakan kebaya dengan bagian dada yang tertutup.
Berjalan kaki, Antara menjaga keselarasan dengan alam dan karma diri
Suku Baduy Dalam tidak diperbolehkan mengenakan alas kaki dan naik kendaraan kemanapun mereka pergi. Meskipun itu harus menerjang panasnya aspal ibukota.
Tapi ada pengecualian. Mereka boleh naik lift. Karena lift bukan tergolong kendaraan.
Alasan dibalik tidak bolehnya Suku Baduy Dalam naik kendaraan adalah kepercayaan mereka yang meyakini bahwa, berjalan kaki adalah proses menjaga keselarasan dengan alam yang sudah dilakoni secara turun temurun.
Konon katanya, jika mereka melanggar, misalnya saat keluar daerah Baduy Dalam lalu mereka naik kendaraan, maka kaki mereka akan sakit. Mereka menyebutnya sebagai karma yang kembali pada diri sendiri.
Menurut saya, lebih baik kita menghormatinya, bukan lantas memaksa dan mengasihani mereka untuk pakai alas kaki, atau naik kendaraan. Malah sebaiknya, kita berterima kasih kepada mereka, karena mereka masih memegang teguh aturan adat dan juga kearifan lokal Indonesia.
Mata pencaharian Orang Baduy Dalam
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Meskipun tak bisa baca tulis, warga Baduy Dalam mahir saat bertani. Tanah mereka penghasil durian yang melimpah, juga hasil bumi lainnya seperti petai, sayuran, jahe, kencur, dan rempah-rempah lainnya.
Selain itu, ada juga diantara mereka yang membuat tikar anyaman. Atau berjualan madu hutan.
Tikar pandan yang dianyam dihargai antara Rp300-500 ribu. Tergantung ukuran. Sedangkan madu hutan dijual antara Rp70ribu-Rp150ribu/botol, tergantung ukuran botol. Saya beli madunya dan rasanya enak sekali.
Baca juga: Semanis Madu dari Desa Loli, Timor Tengah Selatan, NTT.
Berbeda dengan orang Baduy Luar yang boleh membuat gula aren, orang Baduy Dalam tidak diperbolehkan membuatnya. Nira dari pohon Aren hanya boleh dikonsumsi sebagai Nira saja. Diminum, bukan untuk dijadikan gula.
Mereka juga tidak sembarang menjual hasil bumi. Madu, misalnya. Mereka tidak menjual madu berkeliling. Melainkan hanya di desanya, atau menitipkannya kepada kelompok Mapala/Pecinta alam di kampus-kampus.
Saat menjual hasil bumi, mereka juga tidak boleh menawarkan kepada calon pembeli. Jadi mereka akan diam, hingga ada orang menghampiri dan bertanya apa yang mereka jual. Unik ya?
Hanya Para Lelaki yang Boleh Keluar Kampung Mencari Uang
Selanjutnya, Penjualan hasil bumi ini, hanya kaum lelaki Baduy Dalam yang boleh melakukannya. Sedangkan wanitanya, mereka akan mengurus ladang dan pertanian. Tidak diperkenankan keluar kampung.
Para lelaki biasanya keluar kampung untuk mencari uang guna membeli minyak, kopi, ikan asin, dan gula. Wanitanya menyiapkan makanan, mengurus anak dan rumah. Nanti jika para Ayah ini mendapatkan uang, maka yang berhak mengumpulkannya adalah sang istri.
Contohnya pada saat saya dan kawan-kawan hendak membayar jasa porter kepada Tuan Rumah kami, beliau menyuruh kami menyerahkan uangnya ke istrinya. Wanita adalah pengelola keuangan rumah tangga di Baduy Dalam.
Sehingga, jika kalian hendak ke Baduy dalam, alangkah baiknya kalian membawa buah tangan seperti yang saya sebutkan di atas. Ikan Asin dan Kopi.
Orang Tionghoa Dilarang Masuk Baduy Dalam, kalau tak mau kena celaka
Bukan, ini bukan kata saya. Melainkan kata-kata dari tetua Suku Baduy Dalam. Larangan bagi orang Tionghoa untuk berkunjung dan masuk ke daerah Baduy Dalam.
Larangan ini dibuat bukan karena rasis, melainkan amanat dari leluhur mereka. Konon katanya, leluhur mereka pernah bersiteru dengan orang Tionghoa, yang berujung pada larangan orang Tionghoa tidak boleh memasuki wilayah Baduy Dalam. Jika nekat masuk, maka akan terjadi semacam kutukan/kecelakaan.
Kalau blasteran Tionghoa dengan Pribumi, boleh katanya. Bukan darah murni.
Saya tak terlalu paham tentang hal ini. Karena di agama saya, yang paling tinggi adalah kekuatan Allah SWT. Tapi alangkah baiknya adat istiadat mereka dihormati.
Suasana Pagi di Baduy Dalam
Masyarakat Baduy Dalam memulai aktifitasnya sejak dini. Kurang lebih jam 3.30 pagi, saya sudah mendengar adanya celoteh warga Baduy Dalam. Samar-samar, saya mendengar suara warga desa yang sedang ngobrol dengan anggota keluarga dari sela-sela bilik bambu.
Pukul 4 pagi, sudah terdengar suara orang-orang yang menaikkan rangka rumah. Sehingga membuat saya berani ke sungai sendirian ditengah kegelapan. Tidak menyeramkan sama sekali meskipun hanya bercahayakan headlamp.
Air sungai terasa sangat sejuk saat saya mengambil air wudhu. Sungguh syahdu suasana kala itu. Inginnya berlama-lama, tapi nanti saya disangka kuntilanak duduk di pinggir sungai.
Dipikir-pikir, berani juga ya saya keluar sendirian dikala gelap gulita, tanpa ada penerangan listrik. Hati saya tentram saja, tak terasa takutnya.
Padahal kalau saya menginap di rumah nenek saya di Purwokerto, sering ada rasa takut saat mau ke kamar mandi malam hari. Padahal lampu menyala terang. Ada jambu jatuh ke sumur saja saya jeritnya kenceng banget. Sampai membangunkan 1 RT.
Nah segitu dulu cerita saya, nanti insyaAllah akan saya sambung tentang trekking dari Baduy Dalam melewati Rute Jembatan akar, dan berakhir di Kampung Cakuem. Seperti apa gambaran treknya?
Arum Silviani, Lecturer, Travel Blogger, and Founder of Antasena Projects
Add comment