Nol Kilometer Indonesia Sabang

Jiwaku Bergetar di Tugu Nol Kilometer Indonesia Sabang

Your Nadzar almost paid off! Begitu ungkap salah satu sahabat saya, saat saya berhasil menapakkan kaki di Tugu Nol Kilometer Indonesia Sabang. Suatu tempat di ujung barat Indonesia, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Tugu Nol Kilometer Indonesia Sabang, Buat Saya

Bukan kali pertama saya ke Banda Aceh. Melainkan sudah beberapa kali. Namun akhirnya, di percobaan yang ketiga kalinya, saya berhasil ke Sabang dengan sangat lancar. Setelah sebelumnya selalu gagal karena cuaca buruk.

Sebuah perjalanan penuh makna, yang telah menjadi wishlist saya selama bertahun-tahun lamanya. Terlebih, saya dapat merayakan hari kemerdekaan Indonesia di Tugu Nol Kilometer Indonesia Sabang.

Indonesia memang bukan negara dengan jumlah pulau terbanyak, melainkan negara kepulauan terbesar di dunia.

Jumlah pulau di bumi pertiwi ini terdiri atas 13.662 pulau yang terbentang jauh sepanjang 3,5 juta mil dari Barat Hingga Ke Timur.

Misi saya adalah menyambangi Nol Kilometer Barat dan Timur. Atau dengan kata lain, Sabang dan Merauke. Kedua tempat monumental ini berjarak sekitar 8.514 kilo meter jauhnya.

Baca juga: Romansa Senja di Pantai Iboih, Sabang

Jalan Menuju Tugu Nol Kilometer Indonesia Sabang

Di Pulau Weh, saya menginap di sebuah penginapan sederhana di kawasan Iboih. Tepian pantai yang menghadap Pulau Rubiah.

Perjalanan dari penginapan saya ke Monumen Kilometer Nol Indonesia Sabang sekitar 7,5 kilometer. Dapat ditempuh dengan berkendara selama kurang lebih 17 menit.

Jalur dari Iboih ke Tugu Nol Kilometer Indonesia Sabang cukup mulus. Meskipun boleh dikatakan berliku dan berkelok-kelok. Disini juga rawan longsor jika terjadi hujan deras.

Namun demikian, kondisi jalan aspal di Sabang cukup mulus. Seperti kondisi jalan dari Banda Aceh ke Lhokseumawe.

Tidak ada macet juga disini, sehingga perjalanan sangat nyaman kalau menurut saya. Ditambah, sepanjang perjalanan kita disuguhi pemandangan yang menawan.

Kita dapat menikmati pemandangan pulau, gunung dan lautan dengan seperti ini. Hal yang sangat jarang kita lihat di tempat lain.

Baca juga: Perjalanan dari Jakarta ke Banda Aceh

Pemandangan menuju nol kilometer indonesia
Pemandangan menuju nol kilometer indonesia

Kesan Pertama Menapakkan Kaki ke Destinasi Impian

Jantung saya berdebar saat mobil yang saya tumpangi berhenti di gerbang masuk Tugu Nol Kilometer Indonesia Sabang.

Kondisi sekitar saat itu tidak terlalu ramai, mungkin karena masih pagi, sekitar pukul 9.00 WIB. Jam Segini tentunya masih sangat pagi bagi warga Aceh.

Perlu teman-teman ketahui, orang Aceh kebanyakan memulai harinya di jam 09.00. Hal ini karena matahari lebih lambat terbit di Ujung Banda.

Disini kehidupan juga sangat slow, tidak terburu-buru. Tak seperti orang Jakarta kebanyakan, yang memulai harinya sejak pukul 3 pagi, sudah berdesakan menunggu KRL pertama demi bisa sampai kantor jam 8.00.

Penjual Makanan di kawasan nol kilometer
Penjual Makanan di kawasan nol kilometer

Perjalanan dari gerbang menuju monumen cukup teduh, banyak pepohonan rindang yang menambah kesejukan di tempat ini. Ditambah, disini angin berhembus cukup kencang, karena mungkin letaknya di tepian Samudera.

Suhu di Sabang cukup berbeda dengan Banda Aceh. Meskipun mentari cukup terik, di Sabang rasanya tetap sejuk karena banyak angin tadi.

Di kanan kiri jalan menuju Monumen, terdapat banyak penjual makanan, souvenir, dan juga warung makan. Hal yang membuat saya lega tentu saja. Karena kita tak perlu repot membawa perbekalan, sudah ada warga yang siap menyambut kita dengan makanan dan buah-buahan tropis khas Sabang.

Nanti di lain waktu saya akan cerita ke kalian, seperti apa rasanya jajan di warung warga setempat di wilayah Kota Sabang.

Terpana Menatap Gagahnya Tugu Nol Kilometer Indonesia Sabang

Tidak sampai 5 menit saya berjalan kaki, akhirnya mata saya menangkap Tugu Nol Kilometer Indonesia Sabang, menjulang tinggi di depan saya. Berjarak sedepa lebih sehasta.

Tenggorokan saya tercekat, mata saya berkaca-kaca. Mengingat betapa banyak halangan ketika saya hendak ke tempat ini di waktu lampau. Namun akhirnya Allah mengabulkan permintaan saya untuk dapat berdiri di tempat impian saya.

Meskipun butuh waktu 8 tahun lamanya, juga bukan bersamanya, tapi sungguh tak mengapa. Saya sangatlah bersyukur karenanya.

Nol Kilometer Indonesia Sabang
Sampai di Nol Kilometer Indonesia Sabang

Kehidupan saya seolah direset. Mulai dari nol. Hahaha…berlebihan ya. Tapi ya tidak mengapa. Buat saya nol kilometer berarti membuka lembaran baru. Kemerdekaan baru.

Mengibarkan bendera di Kilometer Nol
Mengibarkan bendera di Kilometer Nol

Angin Kencang Menerpa Ujung Barat Indonesia

Menurut penduduk setempat, waktu terbaik mengunjungi Nol Kilometer Indonesia Sabang adalah pada saat pagi hari, atau menjelang senja. Karena di waktu itu angin masih bersahabat.

Ketika saya tiba pukul 09.00 WIB, angin sudah cukup kencang bertiup. Seperti hendak mengirimkan kabar dari Samudera, bahwasanya kali itu laut sudah mulai pasang. Ombak pun bergejolak. Membuat sang saka merah putih berkibar dengan kerasnya.

Seorang Kawan yang berpose di lantai 2 Tugu Nol Kilometer Indonesia Sabang
Seorang Kawan yang berpose di lantai 2 Tugu Nol Kilometer Indonesia Sabang

Saya juga sempat melihat upacara bendera dilakukan oleh beberapa warga. Atau mungkin mereka adalah komunitas tertentu yang memang sengaja datang ke tempat ini, untuk merayakan hari Kemerdekaan Indonesia tercinta.

Saat menaiki tugu hendak menuju lantai 2, tubuh saya hampir saja terhempas oleh tiupan angin. Kalau saja saya tak berpegangan erat ke railing tangga, mungkin saya sudah terguling mengenaskan ke bawah.

Iya, memang sekeras itu anginnya. Seperti kerasnya tekad saya hingga sampai ke tempat ini. Mengarungi lautan dan samudera, dengan berbagai moda transportasi. Kereta, mobil, pesawat udara, dan kapal cepat.

Alhamdulillah semua terbayar tuntas. Saya pun puas.

Baca juga: Review Kapal Cepat Express Bahari Banda Aceh ke Sabang

Bersama kawan seperjuangan
Merayakan hari merdeka versi kami

Ketika tahu kalau Nol Kilometer Indonesia Barat Sesungguhnya Bukan di Sabang

Hal ini baru saya ketahui ketika saya sudah naik ke menara Monumen Nol Kilometer Indonesia Sabang. Dari tempat ini terlihat ada pulau lagi di utara Pulau Weh.

Menatap Samudera
Menatap Laut Andaman

Lalu warga setempat bercerita bahwasanya bukan disini nol kilometer sejati Indonesia, melainkan di Pulau Rondo. Pulau yang berjarak 50 kilo meter dari lepas pantai Pulau Sumatera di Aceh, atau berada di sebelah utara Pulau Weh.

Saya sempat konfirmasi juga ke teman SMA saya yang menjadi anggota TNI penjaga perbatasan, karena dia pernah ditugaskan menjaga Pulau Rondo.

Teman saya mengatakan, kalau Pulau Rondo tidak berpenghuni, namun terdapat beberapa pos pengamanan yang dijaga oleh aparat TNI, pangkalan helikopter, dan menara mercusuar.

Pengamanan ini dilakukan karena Pulau Rondo adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di Laut Andaman, sebagai wilayah paling utara Republik Indonesia. Pulau ini juga berbatasan dengan wilayah negara India, tepatnya pulau Nikobar.

Akses menuju pulau Rondo tidaklah mudah. Harus menggunakan helikopter dan medannya juga sulit ditempuh oleh warga negara biasa seperti kita. Oleh karenanya, titik 0 kilometer Indonesia dipindahkan ke Sabang.

Meskipun demikian, jiwaku tetap bergetar saat menjejakkan kaki di Tugu 0 Kilometer Indonesia Sabang. Saya merasakan segala rintangan yang selama ini menghalangi setiap langkah, tersapu angin begitu saja ketika Allah berkehendak.

Baca juga: Cerita dari Selat Malaka, di Ujung Sumatera

Mendapatkan Sertifikat Pengunjung 0 Kilometer Indonesia Sabang

Pada saat masuk ke kawasan ini, kita memang tidak dipungut biaya. Namun jika kalian hendak mengabadikan perjalanan kalian sebagai kenangan, kalian dapat membayar Rp30.000/orang untuk mencetak sertifikat.

Saya punya, tapi tak saya taruh disini, ya.

Cukuplah melihat foto-foto pemandangannya saja. Saya doakan kalian yang membaca ini juga bisa mengunjunginya.

Terima kasih kepada Pejalan Senja, yang telah memberikan jepretan indahnya di perjalanan kami semua.

Salaam from Zero Kilometer of Indonesia, Sabang.

Arum Silviani.

Arum Silviani

Lecturer, Travel Blogger and Founder of Antasena Projects

Add comment

Highlight option

Turn on the "highlight" option for any widget, to get an alternative styling like this. You can change the colors for highlighted widgets in the theme options. See more examples below.

aulyalifa

Advertisement

Small ads

Social Widget

Collaboratively harness market-driven processes whereas resource-leveling internal or "organic" sources.

Highlight option

Turn on the "highlight" option for any widget, to get an alternative styling like this. You can change the colors for highlighted widgets in the theme options. See more examples below.

aulyalifa

Advertisement

Small ads

Social Widget

Collaboratively harness market-driven processes whereas resource-leveling internal or "organic" sources.

Follow us

Don't be shy, get in touch. We love meeting interesting people and making new friends.