Terik matahari rasanya menembus kulit saya tanpa ampun siang itu. Siang ke sekian di Bumi Serambi Mekkah. Siang yang lagi-lagi, saya ditemani secangkir Kopi Sanger di tepi Pelabuhan Kapal ke Pulau Aceh. Pelabuhan kecil yang terletak bersebelahan dengan Cafe Nelayan Uleelhee Banda Aceh. Tak jauh pula dari Pelabuhan Ferry Ulee Lheue yang akan mengantarkan penumpang menuju Sabang.
Di Tepi Pelabuhan Kapal ke Pulau Aceh
Hijab saya berkibar tertiup angin laut. Saya dan seorang sahabat duduk di bawah pohon rindang, dekat tempat kapal banyak bersauh.
Di ujung pulau sana, terlihat beberapa perahu sedang menuju pelabuhan ini. Tidak banyak jumlahnya. Mungkin jamnya kurang pas, karena saat itu hari sedang panas-panasnya.
Meskipun demikian, udara di Ujung Banda ini tak mengandung polutan seperti di tempat tinggal saya di Serpong. Masih segar untuk kita hirup. Langit Aceh pun masih biru.
Menjadikannya sebagai salah satu langit terindah, setelah langit di Kota Madinah. Setidaknya ini menurut saya. Kalian boleh setuju, boleh juga tidak.
Baca juga: Jiwaku Bergetar di Tugu Nol Kilometer Sabang
Bercengkrama Seraya Menikmati Kopi Sanger yang Bukan Kopi, Bukan pula Kopi Susu
Setiap ke Banda Aceh, hal yang tak boleh ketinggalan adalah menghirup kopi Sanger. Kopi yang konon merupakan salah satu kopi terenak di dunia.
Saya pernah mengulas sebelumnya, sehingga rasanya tak perlu saya menulis ulang cara pembuatan dan asal usulnya.
Baca juga: Kopi Sanger, Kopi Lezat dari Tanah Rencong
Saya suka kopi Sanger karena rasanya yang cenderung lebih ringan dibandingkan kopi asli Aceh. Sedikit saya jelaskan, bahwasanya cara pembuatan kopi Sanger ini berbeda dengan kopi pada umumnya.
Di Aceh, kopi ini tidak diseduh, tetapi direbus hingga aromanya lebih kuat. Setelah itu, kopi disaring dan ditarik seperti gambar di atas. Baru kemudian dituang ke gelas berisi susu kental manis.
Jenis kopi yang biasanya digunakan adalah kopi Arabica.
Baca juga: Perjalanan dari Banda Aceh ke Sabang
Warga lokal biasanya minum kopi sanger ditemani dengan aneka kudapan manis. Beberapa yang populer adalah kue sarikaya, atau sering dikenal sebagai asoe kaya.
Lalu ada martabak manis, kue timpan, lemper manis, dan kue bolu. Tergantung dimana kita minum kopi. Pada umumnya, kudapan yang disajikan di Aceh ini rasanya manis.
Sungguh berbeda dengan cara ngopi orang Jawa yang biasanya ditemani kudapan asin seperti bakwan, mendhoan, atau gorengan lainnya.
Bukan Kopinya, Melainkan Kenangannya
Meskipun menurut sebagian besar orang Kopi Sanger sangatlah nikmat, namun buat saya rasa adalah nomor dua. Ceritanya yang lebih banyak.
Beragam cerita yang saya alami dari Ujung Banda. Karena kota ini saksi dimana saya merasakan sakitnya hati, sakitnya operasi gigi, sekaligus juga tempat healing yang sempurna untuk jiwa dan raga saya.
Aneh ya?
Maka itulah saya sebutkan bahwasanya kopi sanger dan tempat saya duduk ini membawa saya kepada kepingan-kepingan ingatan, yang hingga saat ini masih kadang muncul dalam kelebatan-kelebatan singkat.
Kopi yang menemani momen yang takkan pernah dapat tergantikan, yang untungnya dihentikan paksa oleh takdir. Mungkin jika berlanjut, takdir saya takkan seindah hari ini lagi.
Blessing in disguise kalau kata orang.
Baca juga: Melepas Romansa Senja di Pantai Iboih, Sabang
Terkadang Sebuah Ingatan Lebih Baik Jadi Kepingan saja, tak perlu utuh adanya
Ini yang seringkali saya rasakan maknanya hari ini. Mungkin karena saya telah bertambah tua, mungkin juga karena saya sudah melewati segalanya, sehingga rasanya tak seheboh itu lagi.
Saya memilih untuk menikmati hidup dengan segala kenangan dan nostalgia yang pernah ada. Tak tak saya sesali, tak saya lupakan, tak pula saya harapkan kembali.
Setidaknya itulah rangkuman obrolan saya dengan sahabat saya di tepi Pelabuhan Ulee Lheue.
Lebih suka mana, Kopi Hitam atau Kopi Sanger?
Kalau saya sendiri, tetap lebih suka kopi hitam.
Setidaknya, secangkir kopi hitam tak pernah berdusta padaku tentang rasanya. Ia jujur apa adanya, Kendati pun susu mampu mengubah warnanya. Gula mengurangi pahitnya.
Ia tetaplah kopi yang sama. Yang tetap utuh memberikan rasa.
Salam dari Banda Aceh.
Arum Silviani
Notes: All Credit Photo by Pejalan Senja.
Add comment