Diantara kalian adakah yang seperti saya? Kalau berkunjung ke bangunan tua, energinya serasa di charge. Jadi fullfilled gitu. Seperti waktu kesini, Toko Merah. Sebuah bangunan jaman Belanda yang kini jadi cafe di Kota Tua Jakarta bernama Rode Winkel.
Lokasinya terletak di Jl. Kali Besar Barat No.11, RT.7/RW.3, Roa Malaka, Kec. Tambora, Kota Jakarta Barat. Sisi lain dari Kota Tua Jakarta yang kita kenal.
Post Terkait:
- 5 Cafe di Semarang bernuansa Tempo Dulu
- Review Warung Kopi Purnama Bandung
- Hafa Warehouse Bandung
- Mengenal Maison Begerijen, Restaurant Legendaris di Braga
- 10 Tempat Makan Legendaris di Bandung
- Studio Rosid, Tempat Ngopi Sambil Menikmati Galeri Seni Tempo dulu di Bandung
- Loe Mien Toe Cafe, Cafe Vintage di Malang
Asal Mula Nama Toko Merah Kota Tua Jakarta
Bangunan berwarna merah hati ini masih kokoh dan gagah berdiri, meskipun didirikan tahun 1730 oleh Gustaaf Willem Baron van Imhoof, seorang Gubernur Jenderal VOC (1743-1750). Pada masa yang lalu, Toko Merah adalah rumah tinggal dari Gubernur Jenderal van Imhoof. Masa berikutnya ditinggali oleh Jacob Mossel, Petrus van der Parra, Reinier de Klerk, dll.

Konon katanya, dinamakan Toko merah karena peristiwa Geger Pacinan, atau tragedi Angke, atau Chinezenmoord di Kali Besar. Sebuah peristiwa kelam pembantaian kaum Tionghoa oleh tentara Belanda. Adapun mayat orang Tionghoa yang dibantai, dibuang di sungai yang berada tepat di depan Toko Merah ini.
Buat kalian yang pernah baca Jejak Langkah, buku ketiga Tetralogi Pulau Buru dari Pramoedya Ananta Toer, saya jadi terbayang kejadiannya seperti yang dialami oleh Mei, istri kedua Minke yang adalah pejuang Tionghoa. Ternyata pemberontakan mereka terhadap pemerintah Belanda bermula dari tragedi ini.
Kepingan Cerita Rode Winkel, Gedung Bekas Toko Merah di Kota Tua Jakarta
Secara kebetulan, saya bahkan menemukan blueprint gedung ini di perpustakaan kampus UMN, tempat saya mengajar. Sayangnya, saya lupa judul bukunya. Tapi dari buku tersebut saya menemukan kepingan cerita dari Toko Merah, yang belum banyak terpublikasi di dunia maya.

Toko Merah di Kali Besar Barat No. 11, sebuah rumah besar yang sangat fungsional dibangun sekitar tahun 1730 oleh van Imhoff. Ia tinggal di sini sebelum diangkat menjadi gubernur jenderal.
Pada masa VOC, Toko Merah merupakan rumah bangsawan terbesar di Batavia. Rumah ini masih dalam dalam kondisi baik hingga tahun 2003, dan dapat dengan mudah dikunjungi. Meskipun demikian, rumah tersebut malah digunakan untuk tempat perjudian, alih-alih menjadi museum untuk kepentingan perdagangan atau bisnis.
Rumah tua ini dilindungi oleh undang-undang (1972) dan sekarang kalian dapat mengunjungi bangunan ini sebagai kafe, dengan nama Rode Winkel.
Interior Lantai 1 Rode Winkel
Siang itu, saya datang dengan Mbak Deasy. Niatan kami memang ingin berkelana menembus masa, sekedar memelankan ritme ibukota. Juga melihat bagaimana orang di masa lalu membangun hunian dan perkantoran di Kota Batavia.
Dari seberang kali besar, Toko Merah terlihat berdiri demikian anggunnya. Suhu di luar sekitar 36 derajat celcius, tapi feels like 40 derajat celcius. Padahal jam baru menunjukkan pukul 11 siang. Namun saat saya dan Mbak Deasy masuk ke tempat ini, kami langsung merasakan perbedaan suhunya. Cukup sejuk, padahal di lantai dasar tidak ada AC.

Mata saya menatap kagum saat melihat tangga kayu yang melingkar mewah, dengan langit-langit tinggi dan pintu jati berbalut kaca yang kokoh.
Sekejap pikiran saya berkelana ke masa dimana Gubermen van Imhoff menempati rumah ini. Betapa megah dan mewahnya. Ada banyak ruang pertemuan, kamar tidur, dan juga ruang dansa.


Sementara rakyat Hindia (saat itu belum ada Indonesia), rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka didiskriminasi dan disebut inlander. Sedangkan mereka, para Belanda totok (darah murni Belanda), berdagang dengan membuat program kerja rodi dan tanam paksa. Sungguh nggak sopan.
So anyway, semula saya ragu lewat mana jalan masuknya, karena pintu ruangan terkunci. Namun oleh security, saya ditunjukkan jalan, “Kalau mau ke café silakan naik ke lantai 2 kak.” Kata security tersebut sopan.
Interior di Lantai 2 Rode Winkel
Kalau secara interior, semua masih asli. hanya saja kursi-kursinya sudah modern. Menurut saya, agak kurang cocok dan kurang match dengan bangunannya. Mungkin lebih cocok jika café ini mengusung gaya vintage seperti restaurant Tugu Group, yang menyesuaikan interiornya dengan barang antik dan dari masa lampau.

Tapi saya cukup mengerti dan bersyukur, sudah ada yang mau mengelola gedung ini. Karena jika mengikuti interior gaya klasik, pastinya modal awal pendirian café juga mahal.
Saya dan mbak Deasy memilih duduk dekat jendela, sehingga dari tempat kami duduk, kami dapat melihat kali besar, juga bangunan tua di depan sana. Vibesnya jadi kayak di Amsterdam.


Ternyata memang Kota Tua dirancang seperti Amsterdam pada masa itu. Dengan renovasi dan perbaikan disana-sini, kini Kota Tua Jakarta, atau secara internasional masih disebut dengan The Old Town of Batavia, menjadi cantik kembali dan tidak kumuh seperti di masa lalu.
Menu di Rode Winkel
Rode Winkel, cafe di kota tua Jakarta menyajikan menu yang sederhana. Untuk minumannya ada kopi, non kopi, smoothies, dan kuliner nusantara. Sedangkan menu makanan rata-rata adalah menu sederhana dan praktis dimasak seperti Mie goreng, nasi goreng, aneka sup, dan olahan ayam.


Sepertinya, tidak ada menu spesial disini. Dan karena saya mau wisata kuliner hari itu, maka saya dan Mbak Deasy hanya memesan kopi dan cemilan.
Review Rasa Kopi, Cemilan dan Pelayanan di Rode Winkel
Saya memesan kopsu Rode, kopi yang menjadi signature Rode Winkel, harga Rp24ribu sudah termasuk pajak. Dan Pisang wijen Rp26ribu. Menurut saya, kopinya enak. Harganya juga terjangkau. Tapi Pisang Wijennya agak keras dan tidak manis. Meskipun demikian, saya tetap puas kok nongkrong dan ngechill disini.

Saat saya berkunjung ke Rode Winkel, saya banyak berpapasan dengan turis asal Belanda, yang ingin bernostalgia.
Buat saya, Rode Winkel asik buat duduk diam sambil menikmati kopinya. Cafe di kota tua Jakarta ini tempatnya nyaman, suasananya tenang, pemandangan bagus, harga terjangkau, pelayanan juga oke. Ditambah layanan utamanya adalah kita bisa menikmati duduk di bangunan yang telah berusia lebih dari 300 tahun!
Nikmat mana yang kamu dustakan? Will come back next time, InsyaAllah.
Post Terbaru:
- Review Kedai Seni Djakarte, Restaurant bernuansa Kolonial di Kota Tua Jakarta
- Berlabuh Sejenak di Masjid Cut Meutia, Gondangdia
- Sebuah Review Kuntskring Paleis, Restaurant Mewah dalam Gedung Berusia 100 Tahun di Kawasan Menteng Jakarta Pusat
- Review Kawisari Coffee & Eatery, Restaurant Bernuansa Indies di Jantung Kota Jakarta
- Kepingan Kisah Rode Winkel, Toko Merah Penuh Sejarah yang Kini Jadi Café di Kota Tua Jakarta
Add comment