Sosok Wanita Jawa. Topik ini terilhami dari curhatan saya dan Bhekti, beberapa hari lalu. Dilatar belakangi suasana sejuk Kota Bandung, hujan rintik-rintik, dan kesunyian di Dago Timur sore itu. Mengalirlah pembicaraan serius ini. Sebuah pembicaraan dari hati ke hati, lalu merasuk hingga kalbu.
Bhekti adalah sahabat yang sudah saya anggap sebagai adik saya sendiri sejak kami sama-sama kuliah di Politeknik Negeri Bandung. Oleh karenanya, kami pun biasanya bebas bercengkrama, baca: Rumpi tentang apapun topiknya. Tanpa tedeng aling-aling. Tanpa takut menyinggung satu sama lain.
Sekian lama berselang, aneka topik diantara kami pun datang silih berganti. Tapi boleh dibilang, inilah pertama kalinya setelah hampir 13 tahun bersahabat, kami berdua membahas soal “Wanita Jawa”. Kami membahas topik ini bukan bertujuan untuk rasis seperti tema pilkada Jakarta tempo hari tentunya. Sama sekali bukan. Kami membicarakan soal Wanita Jawa, karena kami berdua termasuk bagian di dalamnya.
“Baik saya maupun Bhekti, adalah wanita Jawa tulen. Bapak dan Ibu kami berasal dari tanah Jawa, tepatnya Jawa Tengah. Karena kesamaan latar belakang itulah, seringkali kami punya perasaan yang sama saat berada di tanah rantau. Sama-sama jauh dari keluarga, sama-sama sedang berjuang menghadapi kehidupan, juga sama-sama sedang mempraktekkan didikan Bapak Ibu kami.”
Menyoal Wanita Jawa, banyak orang memandang bahwa Wanita Jawa adalah sosok sederhana yang nerimo. Manut (menurut) pada orang tua, suami, loyal pada atasan, dan menjunjung tinggi adat serta perilaku. Hal yang tidak kami ingkari tentunya. Namun sebenarnya tak hanya itu.
“Ada satu lagi misi sakral kami. Menjaga nama baik keluarga. Dengan cara yang baik. Dengan tutur kata yang baik. Dengan perilaku yang santun.”
Kadang, selama kami menjalankan misi ini, misi yang bahkan sudah kami emban sejak dalam kandungan ibu kami, banyak orang yang mencibir. Bilang kalau kami wanita Jawa ini terlalu ngoyo mengejar cita-cita. Terlalu keras dalam bekerja. Terlalu tinggi pasang standar. Terlalu jauh menetapkan mimpi.
Selaluu saja kami mendengar celetukan, “Dasar orang Jawa!”
Sesungguhnya tidak demikian. Kami hidup sederhana bukan karena tak bisa berfoya-foya. Melainkan otak, raga, dan pikiran kami selalu menetapkan bahwa hidup tak selamanya mudah. Adakalanya Gusti Allah menguji kita dengan kesusahan. Jikalau kita sudah terbiasa hidup sederhana, maka apapun keadaannya, InsyaAllah kita akan sanggup menghadapinya. Akan ringan pula menjalaninya. Banyak rezeki ya makannya sepiring, manakala rezeki sedang sedikit ya makannya sepiring. Begitu logikanya.
Orang bilang kami terlalu ngoyo mengejar cita-cita….
Sesungguhnya cita-cita ini bukan untuk kami. Tapi bentuk bakti kami kepada orang tua yang sudah mendidik dan membesarkan kami dengan susah payah. Dengan segala pengorbanan, juga linangan air mata yang seringkali tak mereka tunjukkan di depan kami. Bakti ini sungguh tak bisa diganti dengan uang maupun materi sebanyak apapun. Sebuah bakti demi membuat Bapak dan Ibu bangga.
Wanita Jawa juga sangat concern kepada pendidikan. Ya kami akui itu. Tapi pendidikan ini bukan hanya untuk kami. Tetapi untuk keluarga kami. Untuk suami kami kelak, juga anak-anak kami. Buat kami, seorang wanita haruslah berpendidikan agar bisa mengangkat derajat suami. Agar suami tidak malu saat kami diperkenalkan ke keluarga, teman-teman, maupun koleganya. Karena meskipun tak cantik dalam paras, paling tidak kami bisa jernih dalam pikiran. Pendidikan ini juga untuk anak-anak kami nantinya, demi menyiapkan generasi penerus yang cerdas sehingga sanggup membela bangsa dan negaranya hingga titik darah penghabisan, dengan ilmu dan prinsip-prinsip agamanya. Bukan dengan sikap merendahkan orang lain, apalagi dengan menghasut pihak lain.
Mereka berkata, kami terlalu keras dalam bekerja. Padahal takkan lari gunung dikejar…
Sesungguhnya bukanlah terlalu keras. Karena kami terbiasa kerja keras semenjak kami kecil, maka tidak ada lagi yang kami bilang terlalu. Kami bangun pagi, menyiapkan segala keperluan, lalu menjalankan tugas di kantor dengan segala kemampuan dan curahan pemikiran kami. Setelahnya kami masih saja berkutat dengan aneka pekerjaan rumah. Semua kami lakukan bukan karena takut Gunung di depan sana lari. Tidak sama sekali. Kami bekerja keras karena terbiasa. Sehingga lama kelamaan menjadi budaya. Karena buat kami, setiap rezeki yang kami terima, adalah anugerah Gusti Allah SWT. Maka dari itu kami bekerja keras sebagai bentuk syukur kami akan anugerahNya. Manakala kami bersyukur dan mengerahkan segala daya dan upaya, maka Gusti Allah akan memudahkan jalan kami. Baik di dunia ini, maupun di alam setelahnya. Itu saja.
Terlalu tinggi pasang standar? Terlalu jauh menetapkan mimpi?
Logikanya, ketika standar yang anda tetapkan itu rendah, maka anda sangat mudah mencapainya. Setelah tercapai, anda mau apa? Mau kemana lagi?
Kami pasang standar yang tinggi untuk memicu semangat supaya bisa lebih keras bekerja, agar kami bisa merasakan pengorbanan, jatuh, bangun, jatuh lagi, lalu bangkit lagi. Agar bisa lebih lebar senyum kami saat kami mencapainya. Karena lagi-lagi, kami tak terbiasa berleha-leha.
Dengan menetapkan standar tinggi kami juga tahu sampai dimana kemampuan kami. Hingga akhirnya berujung pada sebuah sujud panjang dan rasa syukur kami ke Gusti Allah yang telah menciptakan suatu makhluk sedemikian hebatnya. Makhluk yang dikaruniai akal pikiran, yang bisa mengubah keadaan dengan perjuangan. Meskipun untuk hasil, kami selalu pasrah karo sing maringono urip. Memasrahkan pada sang pemberi hidup. Maka kami bisa legowo (lega), lantas menerima (nerimo).
Kami setia, loyal, karena itulah bekal pertama yang disiapkan Bapak Ibu kami saat melepas kami keluar rumah. Untuk tidak menusuk dari belakang. Untuk tidak meninggalkan. Karena dengan demikian, maka tak ada penyesalan bagi kami nantinya.
Sekiranya demikian sudut pandang saya dan Bhekti mengenai sosok Wanita Jawa. Paling tidak bisa membuat orang lain memaklumi mengapa Wanita Jawa berkarakter seperti yang telah disebutkan tadi. Tak cukup banyak menggambarkan memang, karena keterbatasan pengetahuan dan interpretasi saya. Hanya bermodalkan ingatan saat saya dan Bhekti membahasnya tempo hari.
Add comment