Siang itu, saya baru saja menyelesaikan sebuah review buku ekonomi di Perpustakaan Jakarta di kawasan Cikini. Setelah jam tangan saya menunjukkan pukul 11.30, saya bergegas keluar perpustakaan. Saya ada janji dengan Mbak Meilina, untuk makan siang bersama di Kuntskring Paleis, sebuah restaurant yang terletak di Jalan Teuku Umar.1, Gondangdia, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat.
Review Vintage and Classic Collonial Building Restaurant Series:
- Kawisari Coffee & Eatery, Resto bernuansa Indies di Jantung Kota Jakarta
- 5 Cafe di Semarang bernuansa Tempo Dulu
- Rode Winkel, Cafe di Kota Tua Jakarta Bekas Toko Merah
- Review Warung Kopi Purnama Bandung
- Hafa Warehouse Bandung
- Mengenal Maison Begerijen, Restaurant Legendaris di Braga
- 10 Tempat Makan Legendaris di Bandung
- Studio Rosid, Tempat Ngopi Sambil Menikmati Galeri Seni Tempo dulu di Bandung
- Loe Mien Toe Cafe, Cafe Vintage di Malang
Perjalanan ke Kuntskring Paleis Menggunakan Transportasi Publik Gratis
Saat saya sedang berjalan menuju Bus Stop di RS. Sulianti Saroso, terdengar notifikasi di handphone saya. Dari Mbak Mei.
“Bu Dos, aku kayaknya agak telat ya, tapi aku udah reserve meja buat kita.”
Saya jawab, “Okay mbak. Take your time. Aku juga mau sholat dulu di Masjid Cut Meutia.”
Dan akhirnya kami sepakat ketemu di Restaurant Kuntskring Paleis saja.
Tak perlu menunggu lama, Jaklingko yang saya tunggu sudah datang. Saya naik, dan melakukan tap e-money di mesin RFID yang disediakan di belakang supir. Kemudian, tak sampai 10 menit kemudian, saya turun di Bus Stop Masjid Cut Meutia yang terletak di Kawasan Stasiun Gondangdia.
Nanti di tulisan lainnya saya akan ceritakan tentang Masjid Cut Meutia.
Saya sholat dzuhur, lalu setelahnya, saya berjalan kaki ke Tugu Kuntskring Paleis. Semula, saya kira tempatnya jauh dari Masjid Cut Meutia. Ternyata hanya sepelemparan batu. Tak sampai 5 menit saya berjalan kaki, saya sudah melihat bangunan yang berdiri anggun ini.

Terpesona dengan Arsitektur Bangunan Kuntskring Paleis yang telah Berusia 100 tahun
MasyaAllah…desis saya.

Saya selalu terpesona dengan bangunan peninggalan Belanda. Dalam setiap sudutnya, seolah ada cerita yang berasal dari masa lalu. Cerita dari tiang, jendela, tegel, dan dinding tua, yang menjadi saksi bisu setiap peristiwa yang telah berlalu. Tak jarang, gedung tua seperti ini memiliki aura magis yang menarik saya untuk menelusurinya.
Magis yang saya maksud disini bukan berarti mistis, melainkan lebih kepada rasa ingin tahu dan kagum pada setiap sudut yang indah ini.
Dari beberapa literatur yang saya baca, bangunan peninggalan Belanda di Indonesia selalu indah dan mengagumkan karena, di Indonesialah para arsitek Belanda bisa mewujudkan impiannya, yang tak bisa mereka wujudkan di negerinya sendiri.

Impian mereka adalah membuat bangunan besar yang megah dan indah, kokoh, dengan halaman depan, samping, dan belakang yang luas. Hal ini tentunya sulit diwujudkan di Belanda karena lahan yang terbatas. Sehingga tak heran, saya selalu bisa merasakan rasa tulus dan cinta arsiteknya setiap saya melihat bangunan peninggalan mereka.
Kebayang nggak sih, their dreams come true! Bangunannya tidak hanya bangunan, tapi sebuah mimpi yang terwujud! Dan kita masih bisa menikmatinya hingga saat ini.
Takjub dengan Interior Kuntskring Paleis
Anyway, saya lanjutkan cerita saya. Saya masuk ke halaman depan Kuntskring Paleis, dan disambut ramah oleh seorang security. Sejenak, saya menikmati keindahan fasad bangunan, lalu masuk ke gedung ini.
Saya dibukakan pintu oleh seorang staf, dan mereka menyambut dengan sangat ramah. Kemudian, saya sebutkan reservasi atas nama Lam Meilina, dan saya langsung diantar menuju meja yang telah dipesan. Ruang Pangeran Diponegoro.


Siang itu, tidak banyak yang makan siang di Kuntskring Paleis. Hanya beberapa meja terisi. Di salah satu mejanya, saya mengenali itu adalah artis lawas. Selanjutnya di meja lainnya, saya melihat ada seorang jenderal polisi.
Tak heran kalangan atas yang makan disini, karena memang restaurantnya artistik, mewah, dan berkelas.
Cerita tentang Tugu Kunstkring Paleis: Jejak Gedung Kolonial Bersejarah dan Pusat Seni di Menteng, Jakarta
Sambil menunggu Mbak Mei datang, saya menikmati interior bangunan, terutama ruang Diponegoro ini. Sebuah ruang makan utama dengan langit-langit tinggi dan interior bergaya klasik.
Saya takjub dengan lukisan The Fall of Java digantungkan pada salah satu dinding. Lukisan sebesar 9×4 meter ini bercerita tentang kisah Diponegoro saat ditangkap pada tahun 1830 oleh Jenderal De Kock. Sebuah simbol sejarah dan perlawanan yang penuh makna.
Selain lukisan tersebut, terdapat pula lukisan karya Van Gough. Setiap sudutnya benar-benar bernilai seni tinggi. Bahkan Toiletnya pun estetik


Menghirup Kopi dari Kawisari Plantation Sambil Mendengarkan Kisah Bataviasche Kuntskring
Saya memesan kopi, dan bilang sedang menunggu teman. Kopi yang disajikan di Kuntskring Paleis berasal dari perkebunan milik mereka sendiri, yaitu Kawisari Plantation di Malang, Jawa Timur. Cerita tentang perkebunan kopi ini sudah saya ulas di tulisan saya tentang Kawisari Coffee and Eatery.
Review Kopinya: Enak dengan aftertaste fruity dan aciditynya medium. Kopi ini juga disertai dengan pesan dari Barista yang membuat saya tersenyum.


Setelah dua puluh menit berlalu, Mbak Mei datang. Dua puluh menit yang tidak terasa sama sekali karena saya ditemani oleh staf yang dengan ceria menceritakan tentang sejarah Kuntskring Paleis, yang merupakan properti Hotel Tugu Group.
Darinya saya tahu bahwa dahulu, Tugu Kunstkring Paleis merupakan salah satu bangunan bersejarah Jakarta yang pada awal abad ke-20, gedung ini dimiliki oleh Nederlandsch Indische Kunstkring, sebuah asosiasi seni ternama di Hindia Belanda.
Antara tahun 1914 hingga 1942, bangunan ini dikenal sebagai tempat eksklusif bagi kalangan atas dan menjadi pusat kegiatan seni yang prestisius di ibu kota.
Kuntskring Paleis dirancang oleh arsitek kenamaan Pieter Adriaan Jacobus Moojen yang juga merancang Gedung N.V. Bouwploeg (Sekarang Masjid Cut Meutia).
Gedung ini awalnya dibangun sebagai tempat berkembangnya para seniman profesional Bataviasche Kunstkring. Berbagai pameran seni rupa, kerajinan tangan, hingga ukiran Bali pernah diselenggarakan di sini.
Tak hanya menampilkan karya seniman lokal, Tugu Kunstkring Paleis juga pernah memamerkan lukisan kelas dunia, seperti karya Vincent Van Gogh, Pablo Picasso, Paul Gauguin, hingga Marc Chagall. Hingga hari ini, beberapa lukisan bernilai seni tinggi masih bisa kita temukan di berbagai sudut Kuntskring Paleis.


Memasuki tahun 1950, fungsi bangunan ini berubah menjadi Kantor Imigrasi Jakarta Pusat, yang beroperasi hingga tahun 1993. Setelah kantor imigrasi dipindahkan ke Jalan Merpati, Kemayoran, gedung ini sempat terbengkalai selama beberapa tahun, sebelum akhirnya dipugar kembali.
Menu Utama dan Pelayanan di Kuntskring Paleis
“Mbak, kami kesini mau merayakan kemerdekaan Indonesia. Karena tahun ini, kami nggak bisa merayakannya dari Gunung.” Demikian ucap saya kepada staf yang melayani kami, ketika Mbak Mei sudah duduk di samping saya.
“Baik kak. Akan kami siapkan.” Tutur seorang staf wanita berkebaya hitam dan berkain batik motif parang, dengan senyum khas Indonesianya. Manis, ramah.
Hari itu ada chef special untuk merayakan kemerdekaan Indonesia. Memang agak lama menunggu pesanan kami, tapi sungguh, saya sama sekali tidak merasa keberatan. Karena seindah itu tempatnya. Seraya menunggu, kami berdua ngobrol, lalu menikmati keindahan bangunan.

Kalau detail dan lengkapnya, kalian bisa lihat disini ya: Menu dan Harga di Kuntskring Paleis
Oh iya, disini akhirnya sertifikat table manner ettiquete yang saya punya bisa digunakan. Mulai dari cara duduk, berdiri, bicara, dan makan. Karena memang vibes restaurant ini membawa kami berdua demikian.
“Ini elu banget sih bu dos, dari bangunan sampai suasananya. Nggak ada orang berisik disini.” Kata Mbak Mei. Saya tersenyum senang.
“Iya. Cakep ya.”
Mbak Mei mengangguk setuju. “Meskipun agak mahal, okelah, it’s worth the money.” Kata mbak Mei.
“Makan aja belum, udah bilang worth the money.” Kata saya. Lalu kami berdua tertawa.
Tapi saya pun mengakui kebenaran kata-kata Mbak Mei. Suasananya mahal. Ibaratnya, saya bayar tiket masuk ke galeri seni yang langka, tapi saya dikasih makanan dan minuman berkualitas. Siapa yang nggak suka?
Review Rasa Makanan di Kuntskring Paleis
Kami terkejut ketika pesanan kami datang. Saya kira, semua akan ditempatkan dalam satu piring. Ternyata dikemas semewah ini.


Chefnya benar-benar mewujudkan keinginan saya untuk merayakan kemerdekaan Indonesia disini. Mereka memberikan Menu spesial kemerdekaan, masakan yang berasal dari beberapa daerah di negeri ini. Mewakili setiap pulau di Indonesia.
Yang paling spesial buat saya tentunya tumpeng nasi merah putih, yang diatasnya ada bendera Indonesia. Seolah mewakili kami yang tak naik gunung Agustus ini.
Tadinya, saya tidak berekspektasi tinggi dengan rasanya. Biasanya, restaurant mewah kebanyakan hanya menjual suasana, tapi soal makanan, rasanya biasa saja. Atau bahkan banyak yang hambar.
Tapi setelah mencoba makanan di Kuntskring Paleis, saya berdecak kagum. Enak sekali!
Mbak Mei pun setuju dengan saya. Semua makanan yang disajikan memiliki citarasa Indonesia otentik yang sangat enak. Bahkan di beberapa masakan, saya merasakan seperti masakan nenek saya, atau mama saya.
Mbak Mei sampai bilang, “Ini kayaknya gue mau bawa klien kesini deh. biar mereka merasakan otentiknya makanan Indonesia dan sejarahnya. Klien gue banyaknya orang Jepang by the way.”
“Iya bawa aja mereka kesini, kita pamer masakan Indonesia yang berkelas, disajikan dengan mewah dan citarasa yang otentik. Tidak disesuaikan dengan lidah setempat.” Tukas saya mendukung.
Rasa dan Suasananya Bintang 5
Saya pernah keliling Indonesia dan menikmati aneka makanannya. Tentunya saya menjadi sangat pemilih soal makanan, karena saya pernah mencobanya langsung di tempat asalnya. Biasanya kalau saya makan di Jakarta, rasanya “sudah disesuaikan” dengan pallete setempat. Atau malah sudah rasa Bule karena chefnya kebanyakan bule. Which is, itu nggak otentik lagi menurut saya.
Di Kuntskring Paleis, saya merasakan semua makanan tradisional yang saya makan, persis sama dengan tempat asalnya. Masakan Jawa Tengah, Masakan Bali, Masakan Sunda, Betawi, Jawa Timur, semua rasanya sangat enak dan otentik.
Menurut saya, rasa semua makanan yang saya pesan, bintang 5. Buat kalian yang ingin merasakan rasa masakan Indonesia yang “naik kelas” atau dengan platting mewah, kalian pasti cocok makan disini.
Porsi dan Harga Makanan di Kuntskring Paleis Menurut Saya
Dari segi porsi, terlihat sedikit ya? Tapi sesungguhnya itu banyak sekali. Meskipun terlihat kecil di foto, tapi mangkuknya dalam. Kami berdua tidak sanggup menghabiskan semuanya. Meskipun kami sudah berusaha keras menghabiskannya, tetap tidak berhasil.


Tadinya kami berdua ingin memberikan penghargaan terhadap para chef yang sudah memasak ini buat kami, dengan menghabiskan semua makanan. Tapi ternyata mereka terlalu generous, banyak sekali. Mungkin ini lebih cocok untuk bertiga.
Dan kalian tahu harga yang harus kami bayarkan? Dengan suasana seindah itu, makanan seenak itu, dan service excellence dari para stafnya, total bill berikut pajak adalah Rp650.000. Tidak jauh berbeda dengan buffet di hotel bintang 5 di kawasan Kuningan Jakarta, tapi jujur, saya jauh lebih puas makan disini.
Ruang Privat di Kuntksring Paleis
Di sudut lain, terdapat pula ruang privvat di Kuntskring Paleis. Menurut Mbak Mei, dekorasinya seperti rumah bordir jaman dulu. Saya tertawa, bagus juga ya ternyata. Ruang ini berbeda konsepnya dengan ruang Diponegoro. Disini bertemakan peranakan, mengingatkan saya pada serial Netflix Emerald Hills.


Masuk ke Kuntskring Peleis, selaksa memuaskan dahaga saya dengan restaurant bergaya kolonial, tapi rasa makanannya tetap juara. Rasa Indonesia yang otentik, dipadukan dengan dekorasi penyajian yang menawan hati. Kuntskring Paleis membuktikan kelasnya dengan memberikan pelayanan dan produk yang setara kualitasnya.
Dengan senang hati, saya memuji tempat ini. Interior dan eksteriornya pun sempurna di mata saya. Bahkan saya bisa menikmati hidangan, seraya memandang lukisan karya Diponegoro dan Van Gough yang melegenda.
Masuk kesini, seperti masuk ke lorong waktu dengan rangkaian cerita yang tak kalah menariknya.
Terima kasih kakak Lam Meilina yang telah menemani, juga chef dan staf Kuntskring Paleis yang memberikan service excellence. Menjadikan merdeka tahun ini lebih bermakna. Setidaknya buat saya ☺️
Latest Post:
- Sebuah Review Kuntskring Paleis, Restaurant Mewah dalam Gedung Berusia 100 Tahun di Kawasan Menteng Jakarta Pusat
- Review Kawisari Coffee & Eatery, Restaurant Bernuansa Indies di Jantung Kota Jakarta
- Kepingan Kisah Rode Winkel, Toko Merah Penuh Sejarah yang Kini Jadi Café di Kota Tua Jakarta
- Cara Naik Whoosh dari Bandung ke BSD
- Review Hakon Ethnic Setiabudi, Coffee Shop Estetik di Jakarta Selatan
Add comment